Oleh: Redaksi Kaidah

DI SEBUAH PROVINSI yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota, ada sebuah distrik bernama Suwaralaya. Namanya memang jarang muncul di pemberitaan nasional, tapi cerita dari sana pantas jadi bahan refleksi untuk kita semua. Ini bukan sekadar cerita tentang kekuasaan, tapi tentang bagaimana cermin integritas bisa retak oleh tangan pemiliknya sendiri.

Kisah ini bermula dari seorang kepala distrik bernama Raka Surya Darmawan, sosok yang di awal masa jabatannya dielu-elukan sebagai pemimpin pembawa perubahan. Ia punya satu kalimat sakti yang selalu ia ucapkan saat membuka rapat:

“Kita harus seperti cermin. Memantulkan kebaikan. Jangan retak. Jangan berdebu.”

Kalimat itu tidak hanya menggema di ruang-ruang kerja, tapi juga dicetak di spanduk, baliho, hingga disisipkan dalam materi khutbah Jumat dan pembukaan seminar. Raka tampil bak reformis lokal. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Jurnalis lokal menjulukinya “Bapak Cermin.”

Tapi sayangnya, seperti banyak slogan yang hanya manis di bibir, realitas di baliknya jauh berbeda.

Beberapa bulan setelah menjabat, masyarakat mulai menyadari, semua proyek besar di Suwaralaya hanya dimenangkan oleh satu lingkaran: keluarga sang kepala distrik dan orang-orang sebarisan.

Proyek jalan dikerjakan oleh PT Cahaya Darma Kencana milik anaknya. Event resmi pemerintah dikelola oleh PT. Langit Merah Kreatif, perusahaan milik putranya. Adik iparnya menguasai pengadaan alat kantor dan konsumsi kegiatan dinas. Bahkan media sosial resmi pemerintah distrik dikelola oleh agensi milik keluarga dan teman dekat anaknya.

Semua tampak rapi di atas kertas. Tender diumumkan. Proses lelang dilakukan. Tapi pengusaha lokal yang mencoba ikut serta tahu jawabannya sejak awal: “Kalau bukan orang dalam, jangan harap.”

Tak butuh waktu lama sebelum suara warga mengalir ke media sosial, warung kopi, dan akhirnya ke meja Jaksa Distrik. Dokumen mulai diperiksa. Surat undangan klarifikasi dikirim ke kantor distrik. Tapi alih-alih memberi penjelasan terbuka, Raka Surya tampil di televisi lokal, menyebut semua ini sebagai:

“Fitnah politik dari pihak-pihak yang tidak suka pada perubahan.”

Lucunya, keesokan harinya ia kembali menggelar rapat pagi dan mengucapkan mantranya:

“Jangan retak. Jangan berdebu.”

Namun, cermin besar di ruang rapat kala itu sudah retak. Entah siapa yang melempar. Mungkin angin. Mungkin nurani seseorang yang sudah tidak tahan menyaksikan retorika kosong. Retakan itu bukan hanya di kaca, tapi juga di kepercayaan publik.

Fenomena Suwaralaya bukan hal baru. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak cerita di republik ini: tentang pejabat yang mengutuk korupsi tapi menggenggam erat proyek lewat keluarga, tentang pidato integritas yang gemilang tapi diam-diam membangun dinasti. Dan yang lebih menyakitkan, mereka masih merasa layak menyebut diri sebagai “pelayan rakyat.”

Raka Surya meludah ke udara, berharap ludah itu membasahi orang lain. Tapi yang ia lupa: angin di negeri ini tak pernah bisa dikendalikan. Dan sekarang, ludah itu mulai kembali ke wajahnya sendiri.

Cermin integritas bukan sekadar simbol. Ia jernih hanya ketika dijaga dengan perbuatan. Tapi ketika cermin itu hanya dijadikan alat propaganda, ia akan retak. Dan saat itu terjadi, bukan hanya wajah sang pemimpin yang tak lagi terlihat, tetapi juga wajah keadilan yang kabur dari pandangan rakyat.

Catatan redaksi: Tulisan ini adalah fiksi naratif yang dimuat dalam rubrik Dialektika. Setiap kemiripan nama, peristiwa, atau tempat adalah kebetulan belaka. Tapi jika Anda merasa tokohnya terasa nyata, mungkin karena kisah semacam ini memang terlalu sering kita saksikan. (*)

Editor: Ruslan Sangadji