Oleh: Ruslan Sangadji / Kader Ideologis NU

DI LINGKUNGAN NAHDLATUL ULAMA, kabar tidak pernah benar-benar bergerak secara kasar. Ia mengalir pelan, menembus ruang-ruang rapat, lorong kantor, hingga warung kopi tempat para kader jam’iyah berdiskusi. Namun pada Kamis, 20 November 2025, kabar itu tidak datang sebagai bisik-bisik, tapi hadir sebagai gelombang besar: Syuriyah PBNU meminta KH. Yahya Cholil Staquf untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU.

Desakan itu bukan kabar ringan. tetapi lahir dari Rapat Harian Syuriyah yang dipimpin Rais Aam KH. Miftachul Akhyar, sebuah forum para kiai kharismatik yang selama ini dikenal menjaga stabilitas jam’iyyah dengan penuh kehati-hatian. Dalam keputusan yang beredar, Syuriyah memberikan tenggat tiga hari. Bila tidak mundur, langkah pemberhentian akan ditempuh. Gus Yahya khatam.

Warga NU paham, keputusan semacam ini tidak mungkin ada, jika persoalannya hanya permukaan. Nama Rais Aam, yang selama ini dihormati karena kebijaksanaannya, menjadi pusat perhatian. Banyak pihak percaya, seorang Rais Aam tidak akan sampai mengizinkan keluarnya keputusan sekeras itu, tanpa kegentingan yang benar-benar serius.

Sumber internal mengatakan, adanya persoalan yang jauh lebih kompleks dari yang muncul di ruang publik. Meski belum ada pernyataan resmi, beberapa pihak internal Jam’iyah Nadhlatil Ulama menyebut, masalah tersebut bukan sekadar isu geopolitik yang sempat menjadi sorotan, melainkan persoalan internal yang dinilai mencederai marwah organisasi dan turut menyeret nama Gus Yaqut, adik kandung Gus Yahya dan mantan Menteri Agama. Namun detailnya tetap tertutup, menyisakan banyak ruang tafsir dan kekhawatiran.

Gelombang Reaksi dari Akar Rumput NU

Di berbagai daerah, para pengurus dan warga NU menanggapi kabar ini dengan perasaan campur aduk. Ada yang kaget, ada yang pasrah pada keputusan para kiai, ada pula yang mencoba merangkai potongan informasi menjadi gambaran utuh yang belum tentu benar.

Di banyak kalangan, termasuk di grup-grup WhatsApp, kabar ini dibahas dengan nada hati-hati. Tidak ada yang ingin melangkah lebih jauh dari yang sudah diputuskan Syuriyah, tetapi semua mengakui satu hal: dinamika kali ini terasa berbeda. Ia tidak hanya mengguncang struktur, tetapi juga menyentuh ruang emosional jamaah yang selama ini melihat NU sebagai rumah besar tempat semua kembali.

Gus Yahya menyatakan bahwa rapat Syuriyah PBNU yang dipimpin oleh Rais Aam KH Miftachul Akhyar, sejak awal diarahkan untuk membahas pemberhentiannya, tanpa memberikan kesempatan untuk klarifikasi terbuka.

Gus Yahya menyampaikan keberatan, karena merasa tidak dilibatkan dalam musyawarah yang wajar mengenai isu tersebut. Hingga artikel ini diterbitkan, Gus Yahya masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Pihak Syuriyah memberinya waktu 3×24 jam untuk mengundurkan diri, jika tidak, ia akan diberhentikan. Tenggat waktu ini terhitung sejak keputusan rapat harian Syuriyah pada Kamis, 20 November 2025.

Di sisi lain, para kiai yang tergabung dalam Syuriyah memilih menjaga sikap tenang, seolah memahami bahwa langkah mereka telah menempatkan organisasi pada persimpangan yang sulit.
Bagi banyak Nahdliyin, tiga hari ke depan (tinggal sehari lagi sejak hari ini) terasa seperti waktu yang panjang, menunggu jawaban yang mungkin menentukan arah perjalanan PBNU ke depan. Apa pun hasilnya, satu hal pasti: NU sudah berulang kali membuktikan kemampuannya melewati badai.

Dalam kesunyian yang tegang ini, para jamaah hanya berharap satu hal: keputusan apa pun yang lahir, semoga tetap menjaga marwah, mengedepankan hikmah, dan mengukuhkan kembali NU sebagai rumah besar yang berdiri di atas nilai-nilai kebijaksanaan para muassis. (*)

Wallahu A’lam