Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
DALAM PERCAKAPAN SEHARI-HARI, kita hampir selalu bertanya, “Berapa usiamu sekarang?” Pertanyaan itu terdengar sangat biasa, sampai-sampai kita tak pernah terpikir bahwa usia bukan satu-satunya ukuran hidup. Prof. Quraish Shihab mengingatkan bahwa ada istilah lain yang maknanya jauh lebih dalam: umur.
Usia, menurut beliau, adalah lamanya keberadaan seseorang di dunia. Ia bergerak lurus, dari lahir hingga nanti tiba waktunya kita pergi. Usia adalah waktu yang sudah ditetapkan Tuhan, sebuah wadah yang mampu menampung apa pun yang kita masukkan ke dalamnya. Wadah ini bisa besar atau kecil, panjang atau pendek—tetapi ukurannya tetap dan tidak bisa diubah oleh siapa pun.
Berbeda dengan usia, umur justru bukan tentang lamanya seseorang hidup, melainkan tentang apa yang ia lakukan selama hidup itu. Umur adalah isi dari wadah itu: amal, manfaat, kebaikan, dan jejak yang kita tinggalkan.
Seseorang bisa memiliki usia panjang tetapi umur yang pendek jika hidupnya tidak memberi manfaat. Sebaliknya, ada yang meninggal muda tetapi meninggalkan umur yang begitu panjang karena kebaikannya terus mengalir.
Itulah mengapa Quraish Shihab menyebut umur bisa “diperpanjang”, “diperluas” atau “diperdalam” melalui amal jariyah. Bukan secara biologis, tetapi secara maknawi.
Setiap langkah kebaikan yang dilakukan seseorang adalah tambahan pada umurnya: ketika ia menggunakan mata untuk melihat hal-hal baik, telinga untuk mendengar yang menentramkan, dan lisan untuk mengucap sesuatu yang menyemangati dan menyejukkan, saat itulah umur kita bertambah—meski usia terus berkurang.
Pemikiran ini mengajak kita melihat hidup dengan cara yang berbeda. Dunia sering mengukur manusia dari angka: usia 30 harus begini, usia 40 harus begitu. Namun angka tidak menentukan nilai hidup seseorang.
Yang menentukan adalah isi di balik angka itu: seberapa besar manfaat yang kita berikan, seberapa banyak kebaikan yang kita tanam, dan seberapa dalam pengaruh kita bagi kehidupan orang lain.
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan: sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Pesan ini sejalan dengan konsep umur: manfaat adalah ukuran panjang atau pendeknya umur seseorang. Semakin luas kemanfaatan kita, semakin panjang umur maknawi yang kita tinggalkan.
Karena itu, hidup bukan sekadar menghitung hari, tetapi mengisi hari. Setiap perjumpaan memberi peluang untuk menanam kebaikan yang mungkin akan hidup jauh lebih lama daripada tubuh kita sendiri. Setiap senyuman tulus, setiap bantuan kecil, setiap kata yang menenangkan—semuanya menjadi bagian dari umur yang kelak dikenang.
Ketika seseorang wafat, orang tak pernah berkata, “Ia hidup 65 tahun,” lalu berhenti di situ. Yang mereka kenang adalah bagaimana ia membantu, apa yang ia ajarkan, bagaimana sikapnya, tutur katanya dan kebaikan apa yang tersisa setelah kepergiannya. Dengan kata lain, yang dikenang bukan usia, tetapi umur.
Kita mungkin tidak bisa menambah usia satu detik pun, sebab itu bukan wewenang kita. Namun setiap hari kita diberi kesempatan untuk memperpanjang umur melalui perbuatan baik, bahkan yang kecil sekalipun. Hidup bukan hanya tentang berapa lama kita berada di dunia, tetapi tentang apa yang kita lakukan selama diberi kesempatan.
Pada akhirnya, usia adalah pemberian, sedangkan umur adalah karya. Dan hidup selalu mempersilakan kita memilih: hanya menambah angka, atau juga menambah makna.
Wallahu A’lam


Tinggalkan Balasan