Oleh: Ruslan Sangadji / Ahli Dewan Pers

RABU, 26 NOVEMBER 2026, saya terlibat dalam sebuah percakapan di grup WhatsApp Ahli Dewan Pers bersama Ketua Dewan Pers, Profesor Komaruddin Hidayat. Diskusi, yang kemudian memantik refleksi tentang bagaimana media sosial kini membentuk dinamika keadilan dan demokrasi kita.

Di era ketika satu unggahan mampu mengguncang opini publik dalam hitungan menit, lahirlah ungkapan yang terasa semakin relevan: No viral, no justice. Kalimat itu bukan sekadar kritik, melainkan cermin dari kenyataan, bahwa media sosial kini memainkan peran penting dalam mendorong keadilan.

Banyak kasus yang sebelumnya tenggelam di meja birokrasi, justru mendapat perhatian setelah diviralkan oleh warganet. Viral bukan hanya suara, tetapi juga tekanan sosial.

Ketua Dewan Pers Pofesor Komarudin Hidayat melihat fenomena ini dari perspektif yang lebih luas. Menurutnya, media sosial dapat berfungsi sebagai pilar kelima demokrasi, ruang baru tempat publik menyampaikan kritik, keluhan, dan tuntutan tanpa menunggu lampu hijau dari redaksi media.

Ia menegaskan, realitas ini tak terpisahkan dari derasnya perubahan teknologi. “Inovasi sains dan teknologi komunikasi tak bisa dibendung. Pemerintah dan masyarakat yang mesti pandai dan bijak menyikapi,” ujarnya.

Pofesor Komarudin Hidayat menambahkan, situasi ini merupakan ujian bagi semua pihak untuk mampu beradaptasi. “Ini tantangan bagi kita semua, menaklukkan serangan disrupsi,” katanya.

Namun jika media sosial kini memegang peran sedemikian besar, timbul pertanyaan: apakah media arus utama terancam? Sebagian jawabannya memang ya. Otoritas media profesional perlahan terkikis. Dahulu redaksi menentukan isu yang dianggap penting; sekarang, algoritma dan viralitaslah yang mengantar suatu persoalan menjadi perbincangan nasional.

Kecepatan informasi di media sosial membuat kerja jurnalistik sering tampak tertinggal, sementara model bisnis media ikut terguncang, ketika perhatian publik dan iklan berpindah ke platform digital.

Tetapi ancaman itu tidak menggambarkan keseluruhan keadaan. Media sosial dan media arus Utama, sebetulnya tidak berada pada dua kubu yang sepenuhnya berlawanan. Dalam banyak kasus, keduanya justru saling membutuhkan.

Isu-isu yang viral di media sosial biasanya memerlukan kerja jurnalistik untuk diverifikasi, diberi konteks, dan diolah menjadi informasi yang dapat dipercaya.

Ketika linimasa dipenuhi emosi, media arus utama hadir membawa ketenangan dan klarifikasi.

Panggung Kebebasan dan Benteng Penjernihan

Ekosistem informasi hari ini, pada dasarnya terdiri dari dua lapisan: satu yang bergerak cepat dengan energi publik, dan satu lagi yang melangkah hati-hati dengan standar etik dan verifikasi.

Media sosial adalah panggung kebebasan; pers adalah benteng penjernihan. Yang satu menciptakan gelombang, yang lain memastikan gelombang itu tidak berubah menjadi likuefaksi misinformasi.

Karena itu, ketika Profesor Komarudin Hidayat menyatakan bahwa media sosial bisa menjadi pilar demokrasi kelima, beliau tidak sedang menandai kemunduran pers. Sebaliknya, mengingatkan bahwa demokrasi kini memiliki ruang baru yang harus dikelola dengan bijak.

Inovasi komunikasi tidak mungkin dihentikan; yang bisa dilakukan adalah memastikan teknologi memperkuat, bukan merusak, kualitas kehidupan berdemokrasi.

Dalam lanskap informasi yang terus bergolak ini, media arus utama tidak hilang. Tapi hanya tidak lagi berdiri sendirian. Perannya berubah—tetapi justru semakin penting: menjaga kebenaran di tengah kebisingan yang tak terbatas. (*)

Wallahu A’lam