Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
Ada orang yang datang ke ruang publik dengan suara lantang. Ada pula yang hadir diam-diam, lalu perlahan mengisi kepala dan hati banyak orang. Raim Laode termasuk yang kedua.
Ia pertama kali dikenal bukan sebagai filsuf, apalagi moralis. Ia datang lewat tawa. Lewat panggung stand-up comedy, Raim seolah mengajarkan, bahwa humor bukan sekadar lucu, tetapi cara bertahan hidup.
Ia menertawakan dirinya, kampung halamannya, kemiskinan, kegagapan sosial — hal-hal yang biasanya disembunyikan orang karena malu. Raim justru menjadikannya cerita. Dan di situlah orang merasa dekat.
Namun fenomena Raim Laode tidak berhenti di panggung komedi.
Pelan-pelan, ia bergeser. Dari lelucon ke lirik. Dari tawa ke sunyi. Dari kelakar ke renungan. Lagu-lagunya bukan jenis yang memaksa pendengar mengangguk-angguk, tetapi membuat dada tiba-tiba sesak tanpa tahu sebabnya. Ada kesedihan yang tidak berisik, ada luka yang tidak berteriak. Lagu-lagu Raim seperti surat yang tak pernah dikirim ke alamat tujuan, tapi entah bagaimana sampai ke tangan kita.
RAIM TAK MENJUAL KEMEWAHAN, IA MENJUAL KEJUJURAN
Dalam era media sosial yang riuh dengan pencitraan, Raim justru tampil apa adanya. Ia bicara tentang patah hati tanpa drama berlebihan. Tentang gagal tanpa menyalahkan siapa pun. Tentang cinta yang tidak selalu berujung bahagia. Ia mengakui lemah, ragu, takut—sesuatu yang jarang dilakukan figur publik karena dianggap tidak “menjual”.
Justru di situlah kekuatannya.
Fenomena Raim Laode adalah fenomena generasi yang lelah berpura-pura. Generasi yang muak dengan motivasi kosong dan kata-kata besar tanpa rasa. Raim tidak menggurui. Ia tidak berkata, “Kamu harus kuat.” Ia hanya bilang, “Aku juga pernah jatuh.” Dan anehnya, itu jauh lebih menguatkan.
Dalam beberpa podcast, saya membaca bahwa Raim Laode itu seperti cermin. Tidak selalu menyenangkan, tetapi jujur.
Dari bibir Raim Laode, kata-kata sederhana berubah menjadi pengalaman kolektif. Banyak orang merasa lagu-lagunya bukan diciptakan, tetapi “dialami”. Seolah-olah Raim hanya menuliskan ulang isi kepala orang-orang yang tak pandai merangkai kalimat. Ia berbicara untuk mereka yang terbiasa diam.
BUKTI SENI YANG JUJUR
Fenomena ini menunjukkan satu hal penting: publik hari ini tidak lagi haus pada kesempurnaan, tetapi pada keaslian. Raim Laode tidak memosisikan diri sebagai tokoh yang selesai dengan hidupnya. Ia justru hadir sebagai manusia yang masih belajar, masih berdamai dengan masa lalu, masih mencari makna.
Dan mungkin itu sebabnya ia diterima luas.
Raim Laode adalah bukti bahwa seni yang jujur akan selalu menemukan jalannya sendiri. Tanpa perlu sensasi. Tanpa perlu kontroversi murahan. Cukup dengan keberanian untuk berkata: inilah diriku, dari kampung Bernama Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dengan segala kurang dan lebihnya.
Di tengah dunia yang gemar berteriak, Raim memilih berbicara pelan. Tapi justru karena itu, suaranya terdengar lebih lama.
Ada satu hal lain yang membuat Raim Laode terasa berbeda: ia tidak pernah tergesa-gesa menjelaskan dirinya. Ia membiarkan orang menafsirkan sendiri kata-katanya, lirik-liriknya, bahkan diamnya. Di tengah budaya yang serba ingin cepat dipahami dan cepat viral, Raim justru memberi ruang bagi tafsir. Ia percaya bahwa setiap orang membawa luka yang berbeda, dan karena itu, setiap orang berhak menemukan maknanya sendiri.
Raim juga tidak menempatkan cinta sebagai kisah heroik. Dalam karyanya, cinta sering kali hadir sebagai sesuatu yang tidak selesai, tertunda, atau bahkan gagal. Namun kegagalan itu tidak diposisikan sebagai tragedi besar, melainkan bagian dari perjalanan manusia. Cinta, bagi Raim, bukan soal memiliki, tetapi soal merasakan. Dan ketika rasa itu tidak sampai, ia tetap layak dikenang.
TAK BERJARAK DENGAN AKAR
Fenomena Raim Laode semakin kuat, karena ia tidak berjarak dengan akar. Ia tidak mencabut dirinya dari latar sosial yang membesarkannya. Bahasa, logat, dan ingatan tentang kampung halaman hadir bukan sebagai hiasan eksotis, tetapi sebagai identitas yang hidup.
Ia membuktikan, bahwa menjadi lokal tidak berarti menjadi kecil. Justru dari kejujuran pada asal-usul itulah suaranya menjadi universal.
Dalam banyak kesempatan, Raim tampak seperti orang yang berdamai dengan kesendirian. Bukan kesepian yang mengiba, melainkan kesunyian yang menerima. Ia mengajarkan bahwa sendirian tidak selalu berarti kalah. Kadang, sendirian adalah satu-satunya cara untuk mendengar suara hati yang selama ini tertutup kebisingan dunia.
Yang menarik, pengaruh Raim Laode tidak datang dari ajakan atau kampanye. Ia tidak mengorganisir gerakan, tidak mengusung slogan. Namun, diam-diam ia membentuk cara baru orang memandang perasaan. Ia memberi legitimasi pada kesedihan. Ia membuat luka tidak lagi terasa memalukan. Dan itu, dalam konteks sosial hari ini, adalah bentuk perlawanan yang halus tapi kuat.
Raim Laode, dengan caranya sendiri, sedang menulis arsip emosional generasi ini. Ia mencatat hal-hal kecil yang sering terlewat: rindu yang tidak sempat disampaikan, maaf yang terlambat, dan harapan yang disimpan terlalu lama. Arsip itu tidak ditulis dengan tinta tebal, melainkan dengan bisikan—tetapi justru karena itu, ia sulit dilupakan.
Pada akhirnya, fenomena Raim Laode bukan tentang siapa dia, melainkan tentang apa yang ia wakili. Ia mewakili manusia-manusia yang tidak ingin lagi terlihat kuat setiap waktu. Manusia yang ingin jujur pada rasa, tanpa harus meminta izin. Dan selama kejujuran masih dibutuhkan, suara Raim — pelan, rapuh, dan apa adanya — akan terus menemukan jalannya.
BUKAN KOMEDIAN TAPI PENCERITA
Namun penting dicatat, Raim Laode sendiri tidak pernah benar-benar nyaman disebut sebagai stand-up comedian. Dalam beberapa kesempatan, ia justru menyebut dirinya sebagai pencerita**—(storyteller).
Panggung komedi, bagi Raim, hanyalah medium, bukan identitas. Ia tidak datang untuk sekadar memancing tawa, melainkan untuk menyampaikan kisah-kisah hidup yang terlalu berat jika hanya disimpan sendiri. Tawa hanyalah pintu masuk; cerita adalah tujuannya.
Sebagai pencerita, Raim tidak membangun punchline, tetapi membangun kejujuran. Ia tidak mengejar letupan tawa, melainkan resonansi rasa. Itulah sebabnya kisah-kisahnya, baik di panggung, lagu, film maupun ruang digital, selalu terasa personal sekaligus universal.
Ia bercerita seperti orang kampung yang duduk di teras senja, tanpa naskah, tanpa pretensi, hanya membawa pengalaman hidup yang apa adanya.
Identitas sebagai pencerita pula yang menjelaskan mengapa perjalanan Raim dari panggung ke lagu dan film, terasa begitu alami. Ia tidak sedang berhijrah profesi, melainkan hanya membuat medium bercerita. Jika di awal ceritanya disampaikan lewat humor, kini ia menyampaikannya lewat nada dan sunyi. Substansinya tetap sama: kisah manusia biasa dengan luka yang nyata.
Dengan menyebut dirinya pencerita, Raim Laode seolah menolak hierarki seni. Ia tidak ingin dikotakkan sebagai komedian, musisi, atau seniman panggung. Ia hanya ingin jujur pada satu hal: keinginan untuk bercerita tentang hidup, tanpa harus terlihat pintar, hebat, atau selesai. Dan justru dari kesederhanaan posisi itulah, ceritanya menemukan kekuatan. (*)
Wallahu A’lam


Tinggalkan Balasan