PALU, KAIDAH.ID – Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu menyebutkan, pertambangan nikel dan industri pengolahan nikel di Morowali dan Morowali Utara (Morut), Sulawesi Tengah (Sulteng) telah memicu konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan penduduk setempat.

YTM menemukan, sepanjang 2023, ada Sembilan kasus protes yang melibatkan tidak kurang dari 1.000 warga, karena penambangan nikel di Morowali dan Morut.

Lantaran itu, Yayasan Tanah Merdeka berpendapat, pemerintah mesti meninjau kembali semua Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel dan kawasan-kawasan industri di Morowali dan Morut, yang memiliki riwayat tumpang tindih dengan lahan-lahan pertanian, yang secara tradisional dikuasai penduduk setempat.

Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka, Richard Fernandez Labiro dalam laporan hasil penelitian menyebutkan, Sulteng merupakan provinsi utama penambangan bijih nikel di Indonesia.  Pada 2023, total luas areal IUP nikel di Sulteng mencapai 299.185 hektare atau sekira 4,8 persen dari total luas daratan provinsi tersebut.

“Dari luasan tersebut,  tercatat ada 276.486 hektare adalah IUP  dan 22.699 hektare adalah kontrak karya (KK),” sebutnya.

Dia menjelaskan, dari jumlah tersebut, terdapat 120 badan usaha pemegang IUP Nikel, di antaranya 59 pemegang IUP beraktivitas di Kabupaten Morowali, 39 pemegang IUP beroperasi di Kabupaten Morut, 21 pemegang IUP berada di Kabupaten Banggai, dan satu pemegang IUP berlokasi di Kabupaten Tojo Unauna.

“Ada satu pemegang kontrak karya di Kabupaten Morowali,” ujar Richard.

SULTENG PUSAT INDUSTRI PENGOLAHAN NIKEL

Menurut YTM, Sulteng merupakan salah satu pusat industri pengolahan nikel di Indonesia. Di wilayah tersebut,  terdapat 53 perusahaan pemegang Izin Usaha Industri (IUI) Pengolahan Nikel. 45 pemegang IUI beroperasi di empat kawasan industry pengolahan nikel di Morowali dan delapan pemegang IUI beroperasi di Kabupaten Morut.