Problem besar dalam kasat mata politik, bahwa Tim Paslon Amin dan Ganjar Mahfud, menarasikan adanya kecurangan pemilu yang dilaksanakan dalam berbagai bentuk, misalnya penyaluran bantuan sosial, penggunaan birokrasi dan ASN dalam kepentingan pemenangan paslon Prabowo-Gibran, serta cawe-cawe Presiden Jokowi dalam pelaksanaan pencalonan dan kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pasangan Prabowo-Gibran.

Dugaan palanggaran yang dilakukan pada Paslon 02 ini, dianggap bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Namun demikian, dalam kontestasi pemilu, tidak ada jaminan bahwa pasangan 01 Anies-Muhaimin dan pasangan 03 Ganjar-Mahfud juga menggunakan kekuatan ASN dan birokrasi atau kekuatan lainnya seperti bantuan sosial.

Maka terhadap setiap dugaan adanya pelanggaran pemilu, harus diselesaikan melalui kamar-kamar penyelesaian sengketa hukum pemilu.

Dalam konteks hari pemungutan suara dan rekapitulasi penghitungan suara, sebenarnya kecil kemungkinan dan bahkan hampir tidak ada kecurangan pemilu. Apalagi berkaitan dengan penggelembungan suara calon. Sebab, TPS dan di forum pleno rekapitulasi penghitungan suara banyak, aktor pemilu yang terlibat dalam proses tersebut. Ada penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu, ada partai politik, ada para saksi, sejumlah pemantau dan Masyarakat sipil yang melakukan pengawasan terhadap proses pemilu.

Partai politik melalui saksi dan bawaslu, secara berjenjang dapat melakukan keberatan terhadap suatu proses pemilu yang tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan. Maka secara hukum, sulit ditemukan bukti adanya kecurangan pemilu pada saat pemungutan suara maupun sesudah pemungutan suara.

Terhadap bantuan sosial dan penggunaan birokrasi atau ASN dalam kampanye, apakah mempengaruhi pilihan pemilih? Itu perlu dibuktikan, apakah bansos dan penggunaan birokrasi mempengaruhi pilihan suara pemilih. Selanjutnya, sulit dihitung secara statistik, berapa persentase pengaruhnya kepada pemilih, berapa luas persentase seluruh daerah pemilihan, apakah dapat dibuktikan secara struktur masuk dalam tim kampanye calon.

Jika itu tidak dapat dibuktikan, maka tidak dapat membatalkan pemilu, apalagi dengan hak angket yang tidak diatur dalam undang-undang bahwa hak angket dapat membatalkan pemilu.

Penyelesaian sengketa hasil pemilu, hanya dapat diselesaikan melalui kamar Mahkamah Konstitusi. Para pemohon di Mahkamah Konstitusi dapat membuktikan pelanggaran pemilu secara terstruktur, sistematis dan massif. Apakah sengketa hasil pemilu, pemohon di Mahkamah Konstitusi dapat membuktikan adanya selisih suara yang diakibatkan oleh pelangaran pemilu yang besifat Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM) atau penggelembungan suara pemilu Presiden dan wakil Presiden.

Apabila tidak dapat dibuktikan, semuanya hanya ilusi belaka. Hak angket hanya membelenggu demokrasi dan kedaulatan pemilih. Padahal, setiap calon telah mendeklarasikan siap menang dan siap kalah sebelum mengikuti kontestasi pemilu. (*)

Editor: Ruslan Sangadji