Oleh: Fransiscus Manurung
Praktisi Hukum di Palu
Res Judicata Pro Veritate Habetur – “Putusan MK dianggap benar, jika seandainya salah pun harus dianggap benar”
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 membuat heboh perpolitikan nasional. Putusan tersebut, dinilai banyak orang ada apa-apanya, karena berakibat meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi dan ponakan Ketua MK Anwar Usman menjadi calon wakil presiden walaupun usianya baru 36 tahun.
Padahal, syarat usia paling rendah 40 tahun yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu, adalah open legal policy, yang secara absolut merupakan kewenangan DPR bersama Presiden atas dasar pendelegasian konstitusi dalam Pasal 6 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Berbagai penolakan pun muncul, salah satunya keputusan tersebut dipandang tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum bagi Gibran, untuk mendaftarkan diri ke KPU. Argumentasinya pun beragam rupa.
Kemarin, MK membuat kejutan dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengubah ambang batas pencalonan (threshold) Pilkada, bahkan partai politik tanpa kursi DPR, bisa ajukan calon kepala daerah.
Publik menyambut baik putusan MK tersebut, karena dianggap pro demokrasi. Tapi di sisi lain, ada juga kelompok tertentu yang kebakaran jenggot.
BAGAIMANA KITA MENYIKAPINYA?
Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan Undang-Undang Dasar 1945, adalah menguji undang-undang dengan tolok ukur UUD 1945.
Pengujian dapat dilakukan secara materiil ataupun formil. Pengujian materiil menyangkut pengujian atas materi undang-undang sehingga harus jelas bagian mana dari undang-undang (bab, pasal, kata atau kalimat) yang bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan pengujian formil, adalah pengujian mengenai proses pembentukan undang-undang tersebut menjadi undang-undang, dan apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berdampak pada lolosnya Gibran menjadi cawapres yang kemudian terpilih, dan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Threshold Pencalonan Kepala Daerah, merupakan putusan final dan mingkat (final and binding).
‘Final’ bermakna putusan MK tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) dan mengikat, setelah selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh untuk melawan putusan tersebut.
Sedangkan ‘mengikat’ bermakna putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, tetapi juga mengikat dan berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.
BAGAIMANA KALAU PUTUSAN MK ITU KELIRU?
Keputusan MK harus selalu dengan benar dan wajib dilaksanakan, meskipun– jika seandainya– putusan itu ternyata keliru.
Alasannya, terhadap putusan hakim yang dibuat berdasarkan kebebasan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, berlaku asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur. Artinya putusan hakim tersebut pasti benar, jika seandainya salah pun harus dianggap selalu benar.
Sebagai negarawan, hakim konstitusi boleh salah ataupun keliru, tapi tidak boleh mengkhianati konstitusi yang merupakan penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia. Jika tidak begitu, Res Judicata Pro Veritate Habetur akan kehilangan kesaktian dan tak lagi punya makna.
Salam Demokrasi.
Tinggalkan Balasan