BUKU berjudul: Likuefaksi Palu Menggemparkan Dunia, telah terbit. Buku ini ditulis, oleh seorang jurnalis senior di Palu, Tasman Banto. Bahan bacaan ini lahir, di tengah maraknya diskusi mengenai bencana alam dan mitigasi di Indonesia. Lantaran itu, buku ini dapat menjadi referensi bagi khalayak.

Buku setebal 150 halaman, yang diterbitkan oleh Inteligensia Media Malang ini, menjadi salah satu karya literasi yang dinantikan, terutama bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam, tentang peristiwa tragis yang mengguncang Kota Palu 2018 silam.

SEBUAH PENGGALIAN MENDALAM ATAS TRAGEDI

Buku ini berfokus pada likuefaksi yang terjadi di Palu, sebuah fenomena alam, yang menyebabkan permukaan tanah tiba-tiba berubah menjadi lumpur, dan menelan ribuan korban jiwa, bangunan serta infrastruktur lainnya.

Peristiwa yang terjadi bersamaan dengan gempa bumi dengan Magnituo 7,4 itu, menyebabkan kerusakan dahsyat dan kehilangan ribuan nyawa. Tasman Banto, dengan latar belakang jurnalisme investigatif, menyajikan narasi yang tidak hanya menggambarkan peristiwa secara kronologis, tetapi juga mengupas aspek-aspek yang jarang dibahas di ruang publik.

Dalam buku “Likuefaksi Palu Menggemparkan Dunia,” Tasman berhasil memadukan data ilmiah, dengan kisah-kisah personal dari para korban dan saksi mata. Melalui wawancara mendalam dan riset yang komprehensif, guru para jurnalis di Palu ini, menghidupkan kembali momen-momen dramatis saat likuefaksi terjadi.

Pembaca diajak ikut merasakan ketakutan, kebingungan, dan perjuangan para warga Palu, yang harus menghadapi kenyataan yang melelehkan air mata itu.

LEBIH DARI SEKADAR JURNALIS

Tasman Banto, bukanlah nama baru di dunia jurnalisme di Palu dan Indonesia. Selama bertahun-tahun, ia terkenal dengan liputan-liputannya yang tajam dan berani, seringkali menyoroti isu-isu yang kurang mendapat perhatian.

Bukunya itu, menambah daftar panjang karya tulisnya, tetapi dengan dimensi yang berbeda. Tidak semua jurnalis mampu melompat dari reportase ke penulisan buku dengan lancar, namun Tasman menunjukkan, dirinya tidak hanya mampu melakukannya, tetapi juga unggul dalam bidang tersebut.

Sebagai seorang jurnalis, Tasman Banto yang punya nama kecil La Remy, telah meliput berbagai peristiwa penting di Indonesia, termasuk bencana alam, konflik sosial, ekonomi, dunia malam dan isu-isu lingkungan.

Pengalaman-pengalaman ini, memberinya perspektif unik dalam menulis buku ini. Melalui “Likuefaksi Palu Menggemparkan Dunia”, ia berusaha mengajak pembaca untuk melihat bencana alam, bukan hanya sebagai peristiwa fisik, tetapi juga sebagai tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam.

LANGSUNG DIBORONG 100 EKSEMPLAR

Buku berjudul “Likuefaksi Palu Menggemparkan Dunia” baru saja terbit. Penerbit baru mengirimkannya sebanyak 15 eksemplar sebagai promosi. Tetapi, telah mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, pegiat kebencanaan, dan masyarakat umum.

Banyak yang memuji Tasman, karena keberaniannya mengangkat topik yang penuh tantangan ini ke permukaan, serta kemampuannya dalam menyampaikan informasi yang kompleks, dengan cara yang mudah dipahami.

Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura, dalam sambutannya di dalam buku tersebut menulis, dunia terpana, terkejut oleh skala dan dampak bencana ini. Namun, dari reruntuhan dan kepedihan, kita melihat ketangguhan, kebersamaan, dan semangat bangkit dari masyarakat Sulawesi Tengah.

“Buku ini mengabadikan momen-momen tersebut, menyajikan kisah-kisah nyata dari mereka yang terdampak, serta perjuangan dalam memulihkan kehidupan,” kata Gubernur.

Gubernur Cudy berharap, buku ini tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga pelajaran bagi semua pihak.

“Mari kita bersama-sama terus memperkuat kesiapsiagaan, saling bahu-membahu dalam menghadapi segala tantangan, dan selalu mengedepankan semangat kemanusiaan,” imbaunya.

Longki Djanggola, Guberur Sulteng 2011-2021 menulis di sambutannya, peristiwa gempa, tsunami, dan likuefaksi tersebut, bukan hanya menghancurkan infrastruktur, tetapi juga menggugah hati nurani semua, untuk saling peduli dan membantu sesama.

“Bencana itu, mengingatkan kita akan kekuatan alam yang luar biasa, dan pentingnya ketangguhan serta persiapan menghadapi kejadian serupa di masa depan,” kata Longki.

Buku ini, katanya, tidak hanya mendokumentasikan kejadian dan dampaknya, tetapi juga menyajikan kisah-kisah heroik, solidaritas, dan ketangguhan masyarakat Sulawesi Tengah.

Dia mengatakan, berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun internasional, turut memberikan bantuan dan dukungan, menunjukkan bahwa di tengah duka dan bencana, kemanusiaan tetap menjadi yang terdepan.

“Saya berharap, melalui buku ini, kita dapat belajar dan terus berbenah, agar lebih siap menghadapi bencana alam. Semoga kisah-kisah di dalamnya menginspirasi kita semua, untuk terus memperkuat solidaritas dan kebersamaan, serta menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana,” papar Longki Djanggola.

Prof. Zakir Sabara H. Wata, Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, meresponnya dengan cara yang berbeda.

Setelah menyampaikan ucapan selamat, alumni HMI itu langsung memborongnya 100 eksemplar, untuk dibagikan kepada rekan-rekannya di Makassar.

“Saya pesan 100 eksemplar untuk dibagi-bagi di sini,” kata Prof. Zakir Sabara, disambut penuh gembira oleh penulis buku Tasman Banto.

Sofyan Farid Lembah, Ketua Ombudsman Sulteng 2012-2022, dalam sambutannya di buku tersebut mengatakan, Tasman Banto itu jurnalis pejuang kemanusiaan yang santun.

Menurutnya, sangatlah berbeda bila seorang jurnalis senior membuat catatan soal kebencanaan, kemudian menyajikannya dalam sebuah buku.

“Menjadi jurnalis itu tidaklah cukup. Ada mission sacree (misi suci) yang harus terus diperjuangkan. Buku ini bukan sekadar text book belaka, juga tidak menjadi inventaris dari tumpukan buku berdebu di perpustakaan, tapi dia harus menjelma menjadi sebuah bahan pembelajaran (lesson learn) untuk memahami soal penanggulangan bencana,” tuturnya.

Ia berharap, buku ini dapat menjadi pengingat bagi masyarakat, tentang pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, dan sebagai penghormatan bagi mereka yang telah menjadi korban likuefaksi di Palu.

WARTAWAN SENIOR VS WARTAWAN TUA

Tasman Banto mengungkapkan, penulisan buku ini, merupakan bentuk dedikasinya terhadap profesi jurnalisme, dan tanggung jawab sosial dan kemanusiaannya.

“Ada pilihan-pilihan menjadi jurnalis, meliput dan menulis secara menerbitkan berita saja, ataukah ikut menjadi pekerja sosial dalam tuga-tugas liputan,” katanya.

Selain itu, katanya, menulis buka menjadi bentuk pengakuan bahwa seseorang itu adalah jurnalis tua, atau jurnalis senior. Bagi Tasman, dua itulah itu sangat berbeda.

Menulis buku, kata Pemred Mercusuar Palu ini, karena terinspirasi dari pernyataan Jakob Utama, pendiri Harian Kompas, bahwa menulis buku adalah mahkota buat wartawan.

Ia juga terinspirasi dengan Amarzan Loebis yang pernah bekerja di majalah Tempo mengatakan: Jangan menyebut diri sebagai wartawan senior, kalau belum pernah menulis buku. Kalau belum menulis buku, istilah yang lebih tepatnya adalah ‘wartawan tua.”

“Saya tidak mau disebut sebagai jurnalis tua, tetapi saya mau disebut sebagai jurnalis senior. Maka saya menulis buku, untuk meneguhkan identitas itu,” tandasnya. (*)

Penulis: Ruslan Sangadji