MOROWALI, KAIDAH.ID – Upah pekerja di Kawasan IMIP masih dianggap bermasalah oleh pihak serikat pekerja. Koordinator Aksi Buruh, Jordi Goral mengatakan, upah buruh masih jauh dari kata layak dalam kurun tiga tahun terakhir.

Menurut Jordi Goral, dalam kurun waktu itu upah dalam kawasan IMIP, hanya mengalami kenaikan dengan nominal Rp75 ribu, yang merupakan implementasi dari turunan UU Cipta Kerja, sehingga menghasilkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) dihapuskan.

Lantaran itu, kata dia, berimbas pada penurunan nilai upah rill, karena berbanding terbalik antara upah yang diterima dengan kenaikan kebutuhan barang pokok. Dengan kata lain, nilai uang Rp100 ribu di tahun 2021, 2022, 2023, semakin lama akan semakin sedikit barang yang bisa dibeli.

“Dalam penerapan Upah Pokok Jabatan di kawasan IMIP saat ini, di atas crew sebesar Rp3.182.000 (berdasarkan data pekerja yang bekerja sejak tahun 2020),” katanya.

Uraiannya, sebut Jordi, besaran kenaikan upah per tahunnya, yaitu tahun 2020 Rp2.900.000 yang diambil berdasarkan UMSK pada tahun itu, dan tambahan jabatan Rp60.000 sehingga total 2.960.000. Di tahun 2022 naik Rp72.000 menjadi Rp3.032.000, kemudian naik lagi Rp75.000 sehingga totalnya Rp3.107.000 pada 2023. Pada 2024, naik Rp75.000 sehingga total Rp3.182.000.

“Itu artinya, gaji pokok tidak memenuhi ketentuan pada Permenaker No. 1 Tahun 2017. Slip gaji karyawan, juga tertera masa kerja dalam item tunjangan tidak tetap, sebesar Rp30.000 per tahun,” bebernya.

Lantaran itu, pada 27 Januari 2024 dan 1 Februari 2024 lalu, Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Kabupaten Morowali, telah melakukan bipartite untuk mempertanyakan masalah tersebut, tetapi tidak membuahkan hasil maksimal, karena menurut pihak pengusaha, struktur dan skala upah sudah diberlakukan dalam Kawasan, padahal nyatanya tidak ada. Konkretnya, tidak ada perbedaan signifikan dalam upah pokok, padahal itu bisa berpengaruh pada pendapatan lembur.

Tidak hanya itu, kata dia, penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Kawasan, juga perlu perhatian khusus. Saat ini, setidaknya setiap hari pasti terjadi kecelakaan, baik ringan maupun parah. Yang pastinya, pekerjalah yang dirugikan.

Dalam laporan investigasinya pun, tertera jelas masih tidak adanya prosedur standar pekerjaan, maupun identifikasi risiko di dalam tempat kerja. Ujung-ujungnya, pihak pekerja lagi yang disalahkan karena kelalaian pekerja, yang akhirnya mendapatkan sanksi, bahkan parahnya lagi mendapatkan sanksi ganti rugi, yang dibebankan kepada pihak pekerja.

Hal lain, ada beberapa departemen dalam Kawasan, masih mempraktikkan kebijakan yang dikeluarkan secara tidak tertulis, tetapi hanya dalam bentuk edaran melalui aplikasi Whatsapp, WeChat, maupun lisan.

Fasilitas kesehatan pun tak luput dari permasalahan kawasan saat ini. Kuota nomor antrian yang ditetapkan oleh pihak klinik, membatasi para pekerja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Kuota hanya diberikan lebih kurang 500 orang per hari, yang terbagi dalam pelayanan pagi, siang dan malam.

Kuota itu sangat jauh dari jumlah pekerja kawasan yang berjumlah sekitar sekira 86.000 orang. Akhirnya, para pekerja harus mengeluarkan lagi dan pribadi, untuk memeriksakan kesehatannya melalui apotek-apotek terdekat.

Olehnya, Serikat Pekerja Industri Morowali-Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia menyerukan kepada seluruh pekerja di kawasan IMIP, untuk menyatukan kekuatan, mengorganisir diri dalam wadah Serikat pekerja dan menuntut agar memberikan hak normatif para pekerja berdasarkan aturan perundangan-undangan yang berlaku.

Para pekerja juga meminta kenaikan upah buruh dan memberikan tunjangan skill, pendidikan dan maksimalkan penerapan K3. Perjelas pula aturan-aturan turunan PKB/PP di Kawasan, apakah dalam bentuk SK direksi atau system manajemen, bukan dalam bentuk edaran via aplikasi perpesanan atau lisan.

Para buruh juga meminta peningkatan kesehatan bagi buruh, menghentikan union busting, menghentikan diskriminasi antara pekerja TKA dan TKI serta tegakkan profesionalitas dalam kawasan.

“Kami juga meminta hapuskan sistem tiga Shift tiga regu, menjadi sistem kerja yang layak dan Sehat. Terapkan secara menyeluruh delapam jam kerja wajib setiap hari dalam Kawasan,” kata Jordi.

Serikat pekerja juga meminta makanan bergizi bagi buruh, berdasarkan jumlah kebutuhan gizi dan kalori yang diatur dalam undang-undang.

“Berikan pula fasilitas bagi pekerja perempuan, hapus prosedur SKS dari dokter ketika pengajuan cuti haid dan hamil,” tegasnya.

Penting pula menyiapkan ruang laktasi, memasifkan edukasi pelecehan seksual, baik lewat mading, induksi maupun saran lain di lingkungan perusahan.

Selain itu, serikat pekerja juga mengajak masyarakat untuk ikut dalam solidaritas mereka, untuk ikut mengecam tindakan aparat yang represif, dalam menidak massa aksi. (*)