Oleh Afifah Ghita Shafwah
Pengamat Sosial Ekonomi

DALAM PANDANGAN BANYAK ORANG, politik adalah ajang strategi, ide, konsep, dan janji-janji besar. Namun, di balik gemuruh kampanye dan orasi politik yang penuh semangat, terdapat kenyataan pahit yang sering terlupakan: janji-janji politik yang tak pernah terwujud.

Ironisnya, para politisi yang pernah mengumbar janji-janji manis, sering kali kembali ke panggung dengan janji yang sama, hanya dengan sedikit perubahan penampilan. Inilah yang disebut sebagai “orasi politik yang menampar wajah sendiri.”

Sebagai bagian dari sistem demokrasi, politisi memiliki tanggung jawab besar untuk mewakili rakyat. Setiap janji yang diutarakan selama kampanye, merupakan perjanjian moral dan komitmen kepada masyarakat.

Janji tersebut bertujuan untuk membangun, menyejahterakan, dan memperbaiki berbagai aspek kehidupan. Namun, sering kali janji-janji tersebut hanya berlalu begitu saja, meninggalkan masyarakat dalam kekecewaan.

JANJI YANG TAK PERNAH DIPENUHI

Contoh konkret dari janji politik yang tidak ditepati, dapat ditemukan di berbagai daerah, terutama menjelang pemilihan kepala daerah. Kandidat yang pernah berjanji untuk membangun infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, atau memperbaiki layanan publik, sering kali kembali dengan janji yang serupa pada pemilihan berikutnya.

Yang lebih menyakitkan adalah, ketika janji-janji tersebut telah diucapkan bertahun-tahun sebelumnya, namun tak ada tanda-tanda realisasinya.

Kata-kata penuh optimisme sering kali menghiasi orasi politik. Para kandidat berbicara tentang masa depan yang cerah dan perubahan besar yang akan terjadi jika mereka terpilih. Namun, pada akhirnya, janji-janji tersebut hanya menjadi retorika.

Setelah bertahun-tahun, janji-janji itu memudar, dan masyarakat dihadapkan pada kenyataan pahit, bahwa tidak ada perubahan yang terjadi. Inilah bentuk nyata dari orasi politik yang menampar diri sendiri: ketika politisi harus menghadapi ketidakmampuan mereka untuk memenuhi janji-janji yang telah mereka buat.

RETORIKA PALSU DALAM ORASI POLITIK

Retorika politik sering kali menjadi alat, untuk menyampaikan janji-janji yang tidak lebih dari sekadar omong kosong. Kata-kata yang diucapkan terasa manis, tetapi hampa makna. Masyarakat diberikan harapan tentang kemajuan dan kesejahteraan, tetapi pada akhirnya janji-janji itu hanyalah bujuk rayu politik tanpa dasar.

Ketika seorang kandidat terus mengulangi janji yang tak pernah diwujudkan, kebohongan itu semakin tampak jelas. Mereka seolah tidak belajar dari kesalahan masa lalu, dan tetap memberikan janji-janji baru yang tidak berdasar.

Ini membuat masyarakat semakin skeptis terhadap dunia politik. Karena telah terlalu sering dikecewakan, kepercayaan masyarakat terhadap politisi mulai terkikis. Pada akhirnya, janji-janji politik yang berulang hanya akan mengubur reputasi politisi itu sendiri.