JANJI MANIS YANG TAK TERWUJUD
Dalam orasi kampanye, janji politik sering kali terdengar sangat menggembirakan dan membangkitkan harapan besar di masyarakat. Namun, ketika waktunya tiba untuk mewujudkan janji-janji tersebut, para politisi sering beralasan bahwa banyak hambatan yang menghalangi mereka untuk melakukannya.
Janji-janji manis ini bukanlah komitmen nyata untuk perubahan, melainkan hanya sarana untuk meraih suara. Setelah terpilih, para politisi tidak ragu untuk kembali membuat janji-janji baru, seolah-olah janji sebelumnya sudah dilupakan. Ini tentu saja membuat masyarakat semakin apatis dan kehilangan kepercayaan pada politik. Para pendukung yang awalnya bersorak riang akhirnya menyadari bahwa mereka telah tertipu oleh janji-janji kosong.
MENINABOBOKAN RAKYAT
Salah satu aspek paling berbahaya dari fenomena ini, adalah kecenderungan politisi untuk terus meninabobokan rakyat dengan janji-janji baru. Alih-alih memperbaiki kesalahan dan memenuhi janji yang telah diucapkan, mereka justru menawarkan janji baru, yang akhirnya hanya menambah panjang daftar kegagalan.
Masyarakat sering terjebak dalam lingkaran ini, karena mereka bosan dengan janji-janji yang tak pernah terpenuhi. Mereka yang awalnya optimis akhirnya pasrah, menerima bahwa politik adalah dunia yang penuh dengan kebohongan dan janji palsu.
Tantangan terbesar dalam demokrasi kita adalah bagaimana masyarakat bisa membedakan antara janji yang tulus dan janji yang hanya alat politik?
RETORIKA POLITIK YANG MENAMPAR DIRI SENDIRI
Sudah saatnya menghentikan retorika politik, yang hanya menyakiti diri sendiri. Para politisi harus mulai menyadari, janji mereka adalah amanah dari rakyat yang harus dipenuhi. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem politik, jika mereka terus menerus dibohongi oleh orasi politik yang kosong.
Memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap politik, harus menjadi prioritas. Janji politik harus dipandang sebagai komitmen nyata, untuk perubahan sosial yang lebih baik, bukan hanya alat untuk meraih kekuasaan. Hanya dengan cara ini, kita bisa membangun politik yang lebih adil, jujur, dan bertanggung jawab. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan