DI DESA TAMPABATU, pagi dimulai dengan langkah kecil yang tak berujung di pematang jalan. Kaki-kaki kecil anak-anak sekolah menapak jalan berbatu. Di balik senyum mereka, ada perjuangan yang bahkan orang dewasa pun mungkin gentar menjalaninya.

Namun, hari itu berbeda. Suara mesin minibus pecah di tengah pagi Desa Tampabatu yang biasanya hanya diiringi kicau burung. Wajah-wajah polos itu berhenti sejenak, bingung dan penuh harap, saat sebuah mobil putih perlahan masuk ke halaman desa.

Mobil itu bukan sekadar alat transportasi; tapi sebagai simbol dari sebuah janji yang ditepati. Ahmad Ali, seorang pemimpin yang namanya bergema hingga sudut-sudut Sulawesi Tengah, tak hanya mendengar keluhan warga—ia menjawabnya. Mobil ini adalah jawabannya.

MENANGIS SEMUA DORANG

“Menangis semua dorang (mereka) waktu saya antar itu oto (mobil),” kata Sovianur Kure, ketua DPD NasDem Tojo Unauna yang menjadi utusan Ahmad Ali.

Kata-katanya sederhana, tapi menembus jauh ke dalam perasaan mereka yang menyaksikan. Mobil itu lebih dari sekadar logam dan roda. Bagi mereka, itu adalah harapan yang selama ini hampir hilang di tengah keputusasaan.

Seorang ibu, dengan kerudungnya yang kusam oleh keringat dan debu, memeluk anaknya erat-erat. Air matanya tumpah, bukan hanya karena bahagia, tapi juga karena beratnya masa lalu.

Bertahun-tahun ia harus bangun subuh, untuk memastikan anaknya berjalan aman menuju sekolah, melewati jalanan berbatu. Sekarang, beban itu perlahan terangkat.

JANJI YANG DITEPATI DI TENGAH IRONI

Tampabatu, tidak lupa pada malam itu, ketika Ahmad Ali berdiri di Padang Uloyo pada September lalu. Suaranya lembut, tetapi sarat dengan makna.

“Kalian tidak punya utang apa-apa terhadap apa yang saya lakukan kepada kalian saat ini,” katanya.

Ucapan itu seperti angin sejuk yang menembus hati. Tidak ada tekanan, tidak ada iming-iming. Hanya keinginan tulus untuk membantu.

Namun, takdir punya cara sendiri untuk menyisipkan ironi. Dalam pemilihan gubernur, suara Ahmad Ali nyaris kalah di desa yang menerima bantuan ini. Kecewa? Tentu tidak. Ahmad Ali lebih memilih diam, menyerahkan semua pada waktu.

PRAGMATIS, TAPI KITA TETAP JALAN

Haji Oya, sapaan akrab Sovianur Kure, melihat masyarakatnya seperti buku yang terbuka, tapi halamannya tersebar. Banyak yang memilih pragmatis, memilih seolah tak mengenal siapa yang telah memberi.

“Mereka semua seperti pragmatis,” katanya dengan nada getir.

Tapi di balik kekecewaan itu, ada optimisme yang tak pernah padam. Mobil minibus itu kini menjadi saksi dari perjuangan seorang pemimpin untuk membawa perubahan. Ahmad Ali tahu, pemimpin yang baik tak hanya melayani mereka yang mendukungnya, tapi juga mereka yang ragu padanya.

MASA DEPAN DI DALAM KABIN MINIBUS

Di hari pertama mobil itu beroperasi, anak-anak berlari dengan riang. Mereka berebut masuk, tertawa di bangku-bangku yang masih tercium harum baru. Sopir yang ditunjuk dengan penuh tanggung jawab menghidupkan mesin, dan roda mobil itu perlahan berputar.

Dari kaca jendela, mata kecil anak-anak itu melihat dunia yang lebih luas. Jalan yang dulu keras kini terasa lunak. Sekolah tak lagi terasa sejauh bintang di langit.

Di desa kecil yang sunyi itu, sebuah mobil minibus telah mengubah banyak hal. Ahmad Ali mungkin tak mendapat seluruh suara mereka, tapi ia telah mendapat sesuatu yang lebih besar—doa dari anak-anak yang masa depannya kini lebih terang.

Dan mungkin, di suatu pagi nanti, mereka akan mengingat hari ini. Hari ketika suara mesin mobil membawa mimpi mereka lebih dekat, ketika seorang pemimpin mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah melayani, tanpa meminta apa-apa. (*)

Editor: Ruslan Sangadji