KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, bukan hanya dikenal sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia, tetapi juga sebagai tokoh yang memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, termasuk etnis Tionghoa.

Salah satu warisan pentingnya adalah, kembalinya perayaan Imlek sebagai hari besar yang dapat dirayakan secara terbuka di Indonesia. Karena peran besarnya itu, Gus Dur pun mendapat julukan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Sebelum era reformasi, kaum Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi yang cukup berat, terutama pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Dengan alasan asimilasi, pemerintah kala itu mengeluarkan berbagai kebijakan, yang justru semakin membatasi ruang gerak etnis Tionghoa dalam menjalankan budaya dan kepercayaannya.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 melarang perayaan Imlek di depan publik, serta mengekang ekspresi kebudayaan Tionghoa, termasuk penggunaan aksara Mandarin.

Tak hanya itu, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978, melarang peredaran barang yang berhuruf atau berbahasa Mandarin. Bahkan, agama Konghucu tidak diakui sebagai agama resmi, sehingga tidak dapat dicantumkan dalam kartu tanda penduduk (KTP).

Ketidakadilan ini memicu berbagai peristiwa kelam, seperti kerusuhan anti-Tionghoa yang menyebabkan banyak korban jiwa dan harta benda. Sayangnya, pemerintah kala itu tidak memberikan perlindungan penuh bagi mereka yang menjadi korban diskriminasi dan kekerasan.

ERA REFORMASI: AWAL PENERIMAAN KEMBALI

Kondisi mulai berubah setelah Soeharto lengser dan era reformasi dimulai. Di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie, masyarakat Indonesia mulai menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap kaum minoritas.

Seminar-seminar tentang agama Konghucu dan budaya Tionghoa mulai banyak diselenggarakan, yang menjadi langkah awal dalam merehabilitasi hak-hak etnis Tionghoa di Indonesia.

Namun, perubahan besar terjadi ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden. Dengan visi pluralisme dan keberpihakannya pada hak asasi manusia, ia mencabut larangan terhadap kebudayaan Tionghoa melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Melalui kebijakan ini, warga Tionghoa kembali bebas menjalankan adat istiadat, termasuk perayaan Imlek.

Langkah awal Gus Dur dalam mengakui kembali hak-hak etnis Tionghoa, diteruskan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001, yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif.

Selanjutnya, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, terbit Keppres Nomor 19 Tahun 2002 yang menetapkan Imlek sebagai Hari Nasional.

Perkembangan ini semakin dipertegas oleh Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomor 8 Tahun 2024, yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai salah satu hari libur resmi di Indonesia.

Perjuangan Gus Dur untuk menghapus diskriminasi terhadap warga Tionghoa, bukan sekadar tentang hari libur, tetapi juga tentang keadilan, persamaan hak, dan keberagaman di Indonesia.

Berkat jasanya, kini masyarakat Tionghoa di Tanah Air bisa merayakan Imlek dengan penuh suka cita, tanpa rasa takut dan tekanan. Oleh karena itu, tak heran jika namanya selalu dikenang sebagai tokoh pluralisme yang berjasa dalam membangun Indonesia yang lebih inklusif dan harmonis. (*)

Editor: Ruslan Sangadji