INI KISAH TENTANG PARA PEMBURU MADU ODENG – Di sebuah pagi yang masih berselimut kabut di Ujung Kulon, Banten, suara langkah kaki terdengar lirih di antara rimbunnya pepohonan. Sebuah kelompok kecil, terdiri dari lelaki-lelaki berkulit legam karena terpanggang matahari, berjalan perlahan menembus belantara. Mereka bukan pemburu biasa.
Mereka adalah pencari madu odeng, peraih tetes-tetes emas dari sarang lebah Apis Dorsata yang menggantung tinggi di pohon-pohon raksasa.
Bagi warga Kampung Nelayan, Desa Tamanjaya, berburu madu hutan bukan sekadar pekerjaan tambahan. Ini adalah bagian dari hidup. Setiap tetesnya mengandung cerita perjuangan—tentang nyali yang dipertaruhkan, tentang hutan yang harus dipahami, dan tentang keterampilan yang diwariskan turun-temurun.
“Perjalanan bisa memakan waktu 15 hari,” kisah Eman Sulaeman, Program Manager Unit Madu Koperasi Hanjuang. “Kami menyeberangi lautan selama lima jam, lalu masuk ke dalam hutan yang tak berpenghuni.”
Hutan Ujung Kulon bukan sekadar gugusan pohon yang menjulang. Ia adalah dunia liar dengan aturan mainnya sendiri. Seekor harimau Jawa yang mungkin masih bersembunyi di antara bayangan. Ular-ular yang melilit pohon seperti akar hidup. Lebah-lebah raksasa yang bersarang di dahan tertinggi, siap menyerang kapan saja.
Namun, mereka tak gentar. Setiap langkah, setiap ayunan parang yang menebas semak belukar, adalah bagian dari perjalanan yang sudah mereka jalani bertahun-tahun.
ODENG: LEBAH RASANYA YANG TAK BISA DIBUDIDAYAKAN
Madu yang mereka buru berasal dari lebah jenis Apis Dorsata, atau yang mereka sebut Odeng. Lebah ini bukan lebah biasa. Ukurannya yang besar dan kemampuannya menjelajah hingga lima kilometer membuatnya mustahil dibudidayakan secara konvensional. Sarangnya hanya bisa ditemukan di alam liar, bergantung di ketinggian yang membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum mendekat.

“Odeng ini bisa menghasilkan hingga 25 kilogram madu per sarang,” ujar Eman. “Tapi untuk mendapatkannya, kami harus memanjat pohon dengan tinggi lebih dari 30 meter,” tambahnya.
Mereka hanya berbekal tali dan keberanian. Di malam hari, mereka membakar daun-daunan untuk mengusir lebah sebelum dengan hati-hati memanen madu. Ada kalanya lebah menyerang, meninggalkan luka-luka yang baru, dan baru akan sembuh berminggu-minggu kemudian.
NGALASAN: PENGHORMATAN PADA ALAM
Berburu madu bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ini adalah bagian dari tradisi. Mereka menyebutnya ngalasan, sebuah bentuk penghormatan terhadap alam.
Mereka tidak mengambil semua madu dalam sarang. Mereka menyisakan sebagian, agar lebah tetap hidup dan kembali menghasilkan madu di musim berikutnya. Bagi mereka, hutan adalah ibu yang harus dijaga, bukan ladang yang bisa dieksploitasi seenaknya.
“Ngalasan mengajarkan kami untuk tidak serakah,” kata Eman. “Kami hanya mengambil apa yang kami butuhkan,” ujarnya.
APRESIASI MENTERI HUKUM
Pada 15 Maret 2025 malam, di kediaman Menteri Hukum RI Supratman Andi Agtas di Pejaten, Jakarta Selatan, sebuah paket madu Ujung Kulon diletakkan diserahkan kepada Menteri Hukum RI. Ia membuka tutup botolnya, mencium aroma khas yang lembut, lalu mencicipinya dengan ujung jarnya. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Inilah madu hutan sejati,” katanya. “Ada nilai perjuangan di setiap tetesnya,” tambahnya.
Menteri Hukum mengapresiasi kerja keras para pemburu madu. Ia menyarankan agar kemasan madu diperbaiki agar lebih menarik dan mampu menembus pasar yang lebih luas. Ia bahkan meminta staf khususnya, M.Nur Korompot, untuk membantu dalam upaya pengembangan bisnis madu Ujung Kulon.
Eman dan timnya mengangguk. Bagi mereka, apresiasi ini bukan sekadar penghargaan. Ini adalah harapan, bahwa suatu hari nanti, madu yang mereka peroleh dengan penuh perjuangan bisa lebih dihargai, bukan hanya di pasar lokal, tetapi juga di dunia.
Di hutan Ujung Kulon, lebah-lebah odeng terus berdengung. Para pemburu madu odeng masih berjalan di antara pepohonan, membawa harapan dan keberanian dalam setiap langkah mereka. Karena bagi mereka, hidup adalah tentang keseimbangan: antara manisnya madu dan pahitnya perjuangan. (*)
Penulis: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan