Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
INI TENTANG SKANDAL LAPTOP CHROMEBOOK – Senin malam, 26 Mei 2025, saya membaca berita dari CNN Indonesia, berjudul: Kejagung Usut Kasus Pengadaan Laptop Rp9,9 T di Kemendikbud Ristek. Media itu menulis, kasus dugaan korupsi pengadaan laptop senilai Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), resmi naik ke tahap penyidikan.
Kejaksaan Agung mengungkap, adanya indikasi pemufakatan jahat sejak awal perencanaan proyek digitalisasi pendidikan tersebut, khususnya dalam pengadaan perangkat Chromebook sepanjang periode 2019 – 2023.
Chromebook adalah jenis laptop atau perangkat komputer portabel yang menjalankan sistem operasi Chrome OS, yaitu sistem operasi berbasis Linux yang dikembangkan oleh Google. Chromebook dirancang terutama untuk bekerja secara daring (online) dengan integrasi penuh ke dalam ekosistem layanan Google.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyebut hasil uji coba penggunaan Chromebook di sekolah pada tahun 2019, sudah menunjukkan ketidakefektifan, terutama karena ketergantungan perangkat itu pada koneksi internet yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Namun, proyek tetap dipaksakan berjalan, bahkan diskenariokan melalui kajian teknis yang diarahkan.
Pertanyaannya kini: bagaimana proyek pendidikan nasional bisa berbelok menjadi ladang praktik korupsi raksasa, dan bagaimana teori-teori kebijakan publik menjelaskan celah ini?
KORUPSI STRUKTURAL
Policy Network Theory (Rhodes, 1997) menyatakan, pengambilan keputusan kebijakan publik sering kali tidak berlangsung di ruang steril, tetapi dalam jaringan informal aktor-aktor berkepentingan—birokrat, vendor, dan politisi.
Bila jaringan ini membentuk kolusi, keputusan publik menjadi policy capture: disandera oleh kepentingan kelompok, bukan demi kepentingan rakyat.
Sementara itu, Garbage Can Theory (Cohen, March & Olsen, 1972) menjelaskan, bagaimana solusi sering kali dibuat lebih dulu dalam birokrasi, lalu dipaksakan untuk menemukan masalahnya.
Dalam konteks ini, Chromebook bukan jawaban atas persoalan pendidikan digital, tapi justru solusi yang dicari-cari masalahnya. Padahal sejak awal, evaluasi sudah menyatakan teknologi ini tidak cocok dengan ekosistem pendidikan Indonesia.
Digitalisasi seharusnya menjadi instrumen demokratisasi pengetahuan, bukan instrumen transaksi anggaran. Namun dalam praktiknya, proyek Chromebook justru membuka ruang komodifikasi pendidikan, bahwa alat-alat pembelajaran menjadi komoditas dagang antar elite dan swasta.
Pemaksaan pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun – Rp6,39 triliun dari DAK dan Rp3,58 triliun dari satuan pendidikan, menunjukkan bagaimana keputusan kebijakan dirancang lebih sebagai paket ekonomi, bukan solusi pendidikan.
Skema ini menggambarkan bentuk nyata state-corporate crime, kolusi antara penyelenggara negara dan pihak swasta yang berdampak buruk bagi publik.
SYAHWAT INSENTIF
Ironi terbesar justru terletak pada fakta bahwa proyek ini terus bergulir, meskipun hasil uji awal menyatakan kegagalan. Chromebook bergantung pada internet stabil, namun data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan, hingga 2023, akses internet di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan,Terluar) masih timpang.
Maka, menurut saya, keputusan tetap membeli perangkat internet-sentris untuk daerah tanpa internet, hanya bisa dijelaskan sebagai tindakan yang buta konteks dan incentive-driven (syahwat insentif).
Dari perspektif Evidence-Based Policy (kebijakan empiris), kasus pembelan laptop di Kemendikbud Ristek, adalah kegagalan metodologis sekaligus etis. Kebijakan seharusnya lahir dari data empiris, bukan dari tekanan vendor atau manipulasi narasi.
PRABOWO DAN PENEGAKAN HUKUM
Kasus ini mulai terbuka kembali setelah Prabowo Subianto resmi menjadi Presiden sejak Oktober 2024. Dalam berbagai pernyataannya, Prabowo menegaskan, pemberantasan korupsi akan menjadi pilar utama pemerintahannya. Dalam pidato kenegaraan dan program reformasi kelembagaan, Prabowo menegaskan: “korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap keadilan sosial”.
Langkah Kejaksaan Agung yang berani meningkatkan status kasus ini ke penyidikan bisa dibaca sebagai sinyal awal, bahwa komitmen tersebut bukan sekadar retorika. Apalagi, proyek ini menyangkut sektor strategis (pendidikan) dan berskala raksasa.
Bagi saya, ini menjadi batu ujian awal: apakah pemerintahan baru benar-benar berani membongkar jejaring elite-birokrasi-swasta yang selama ini kebal dari jerat hukum?
Kini, saatnya publik tidak hanya menyoroti siapa yang terlibat dan berapa kerugian negara, tapi juga mendorong reformasi sistemik dalam tata kelola kebijakan teknologi dan pendidikan. Sistem pengadaan harus dibersihkan dari pengaruh vendor politik, dan setiap kebijakan teknologi harus melalui audit kesiapan infrastruktur, SDM, dan manfaat jangka panjang.
Jika pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa, maka mengkhianatinya demi syahwat insentif untuk keuntungan pribadi, adalah bentuk perusakan paling sistematis terhadap republik ini.
Presiden Prabowo sudah memulai langkah awal. Tapi membersihkan shadow room di balik proyek-proyek besar seperti ini tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Ini kerja kolektif antara negara yang berani, masyarakat yang kritis, dan media yang tak gentar mengungkap. (*)

Tinggalkan Balasan