JUMAT PAGI, 6 Juni 2025, waktu berhenti sejenak. Seorang guru yang terpelajar, mentor yang penyabar, sekaligus sahabat berhati lembut, telah pulang ke keabadian. Ia meninggalkan ruang-ruang penuh kenangan, dan di salah satunya, sebuah mesin ketik tua mungkin masih menyimpan jejak ketukan jemarinya.
Namanya Dr. Bustamin Nongtji, SH., MH. — seorang akademisi, advokat, pemimpin, dan lebih dari itu, seorang pembelajar sejati yang tak pernah lelah membagi ilmu.
Ia adalah Dekan Fakultas Hukum, lalu Pembantu Rektor di Universitas Tadulako, di masa ketika mesin ketik adalah jantung dari dunia advokat.
Belasan tahun sebelum reformasi, dunia belum dijejali oleh kilatan layar dan denting keyboard digital. Pada masa itu, kehormatan seorang advokat dibungkus rapi dalam koper tempur: Remington Portable, Tipp-Ex, karbon, gunting, mistar, hingga daftar periksa yang ditulis dengan cermat.
Masa di saat mesin ketik bukan hanya alat kerja — ia adalah saksi sejarah, pengawal argumen, penggetar malam-malam panjang di kamar hotel kota besar.
“Apa mesin ketik sudah masuk mobil, Frans?” tanya beliau suatu pagi, sebelum menyalakan mobil untuk “dinas luar”.
“Siap, sudah, Pak.”
“Tipp-ex, karbon, kertas, lengkap? Jangan sampai ada yang kurang. Lebih baik kau yang ketinggalan daripada mesin ketik,” katanya sambil tergelak, menyisipkan gurauan khasnya yang hangat dan jernih.
Begitulah beliau — tegas, cermat, tapi penuh canda dan kasih. Tak pernah lelah mendidik dengan contoh, tak pernah berat menasihati dengan sabar.
Ketika perjalanan membawa kami ke Jakarta, koper hitam berisi Remington tetap menyertai. Di atas KM. Kambuna yang berlayar lambat ke ibukota, dan di kamar hotel saat malam kian larut, suara khas mesin ketik mulai terdengar: Tak tuk tak tuk tak tuk … kriiiing.
Lalu senyap sejenak. Tipp-Ex bekerja memperbaiki kesalahan di enam rangkap kertas. Kemudian bunyi itu kembali: Tak tuk tak tuk tak tuk … kriiiing.
Dari balik pintu, waktu seperti ikut bergidik, membiarkan malam bekerja hingga subuh.
Kini, kamar itu senyap. Tak ada lagi ketukan, tak ada lagi koreksi tipp-ex, tak ada lagi daftar periksa yang disodorkan dengan tangan gemetar, karena ingin segalanya sempurna untuk sang guru.
Hari ini, dua rekan advokat lainnya yang dulu berdiri di tengah barisan juga telah pergi lebih dulu: Thomas D. Ihalauw, SH., MH., dan Hartono, SH., dari Kantor Pusat PT. Iradat Puri, Jakarta. Mereka, bersama beliau, adalah generasi yang menulis masa depan dengan ketukan keras penuh tekad.
Di zaman yang kini bergerak nyaris tanpa suara, saat dunia hukum berubah jadi barisan email dan digital signature, suara mesin ketik itu tetap hidup dalam kenangan: Tak tuk tak tuk tak tuk … kriiiing. Itu bukan sekadar bunyi. Itu adalah degup semangat, disiplin, dedikasi.
Dan untuk kami yang ditinggalkan, ajaran dan nasihatmu, Guru, akan terus terpatri. Seperti tinta pada kertas karbon, menembus lapisan-lapisan waktu.
Selamat jalan, Guru.
Remington kini sunyi. Tapi kami tahu, ketukan itu telah berpindah ke hati kami. (*)
Penulis: Fransiscus Manurung
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan