Di tengah keterbatasan fisik, ia mengembangkan keluasaan jiwa: mengatur waktu dengan cermat, belajar mandiri, memperkuat dirinya dengan pengetahuan.

Ia bukan hanya hadir sebagai mahasiswa, tapi juga sebagai pengingat bagi kita semua—bahwa ilmu bisa tumbuh bahkan dari tanah yang paling keras, selama akarnya cukup kuat.

Dosen-dosennya menyadari hal itu. Banyak yang tertegun melihat ketekunannya. Tak sedikit yang menyatakan, diskusi menjadi lebih hidup ketika Irham mengangkat tangan dan memberi pandangan. Ia tidak hanya menyerap pelajaran, tetapi juga menyalurkannya kembali dengan cemerlang.

“Dia bukan hanya mahasiswa yang cerdas,” kata Dr. Sagir M. Amin, M.Pd.I, Dekan FEBI. “Irham adalah simbol dari harapan dan daya juang. Kami semua belajar darinya.”

Ketika hari ujian skripsi itu tiba, tidak ada yang bisa menyembunyikan rasa haru. Di balik pertanyaan-pertanyaan akademik dan jawaban-jawaban sistematis, terselip getar yang tak tertulis dalam silabus.

Ketika Irham menyelesaikan ujiannya dengan hasil yang memuaskan, tepuk tangan pun pecah, tidak sekadar untuk intelektualitasnya, tapi untuk setiap langkah yang tak terlihat yang telah ia tapaki menuju ruangan itu.

PESAN IRHAM: JANGAN PERNAH MENYERAH

Di luar ruang ujian, keluarga dan teman-teman menyambutnya dengan peluk haru. Mereka tahu, yang selesai hari itu bukan hanya pendidikan strata satu, tapi juga sebuah babak perjuangan. Sebuah cerita yang akan menjadi api bagi banyak hati yang tengah redup.

Irham tak ingin berhenti di sini. Ia ingin terus melanjutkan studi, mendalami ekonomi syariah, dan suatu hari nanti memberi kontribusi nyata bagi masyarakat.

“Saya ingin mengembangkan ekonomi syariah yang inklusif, yang bisa menjangkau semua lapisan, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan,” katanya dikutip dari situs resmi UIN Datokarama Palu.

Baginya, pendidikan bukan sekadar ruang kuliah atau buku teori. Pendidikan adalah alat pembebas—pembebas dari stigma, dari ketidaksetaraan, dan dari batas-batas yang tak semestinya ada.

Untuk teman-teman difabel lainnya, Irham meninggalkan pesan sederhana namun dalam: “Jangan pernah menyerah. Percayalah, Tuhan tidak menciptakanmu tanpa maksud. Walau dengan keterbatasan, pasti ada kelebihan yang menjadi jalanmu.”

Kini, di kampus itu, nama Irham akan terus dikenang. Bukan karena ia berbeda, tapi karena ia telah menunjukkan pada dunia, bahwa keberanian tak selalu bersuara lantang, kadang ia hadir dalam bentuk senyum tenang dan langkah-langkah kecil yang tak pernah berhenti.

Sebab sesungguhnya, kemenangan terbesar bukanlah saat orang lain memuji kita, tetapi saat kita berhasil menaklukkan keraguan dalam diri sendiri. Dan Irham, dalam kesunyian perjuangannya, telah menang dengan gemilang. (*)

Editor: Ruslan Sangadji