Oleh: Ochan Sangadji/kaidah.ID
PAGI ITU, angin dari Teluk Tomini membawa aroma tanah basah dan suara laut yang pelan. Langit Parigi belum sepenuhnya biru, tetapi rumah jabatan bupati sudah penuh oleh bisik-bisik waktu dan langkah-langkah persiapan. Di halaman yang teduh, orang-orang berdiri bersisian, sebagian memegang janur, sebagian lain menggenggam doa.
Erwin Burase dan Abdul Sahid, dua lelaki yang kini memikul harapan sebuah kabupaten, datang bersama keluarga. Mereka melangkah pelan, tapi pasti, menyusuri jalan menuju rumah jabatan yang telah dipersiapkan bukan sekadar sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai lambang tanggung jawab.
Di gerbang waktu itu, mereka tak hanya disambut sebagai pejabat, melainkan sebagai anak kandung tanah Parigi yang pulang ke pangkuan ibu adat.
Leluhur datang pagi itu, dalam bentuk gerak, bunyi, dan keheningan. Tarian Meaju dibawakan oleh orang tua adat, bukan sekadar pertunjukan, melainkan penanda bahwa yang dinanti telah tiba.
Gerakan-gerakan lambat namun pasti dari para penari, seolah menulis ulang sejarah: bahwa pemimpin tak lahir dari ambisi, melainkan dari panggilan tanah yang tak pernah lelah memberi.
Kemudian tibalah pada prosesi inti: ri po isaka. Erwin dan Sahid, dengan langkah yang telah diberkati, menginjak dulang adat yang dipenuhi benda-benda simbolik, ira gamongi batoko, siranindi, fase/tamoko, dan boko-boko.

Tak ada satu pun yang kebetulan. Semuanya adalah bahasa dari zaman yang telah lama hidup: tentang perlindungan, tentang pembersihan jiwa, tentang rejeki dan kekuatan.
“Semoga dijauhkan dari niat jahat, dari lisan yang menyakitkan, dari kekuasaan yang melukai,” ucap seorang tua adat, suaranya lirih namun dalam. Di antara bau kemenyan dan taburan beras, langit tampak sedikit lebih dekat pagi itu.
Di tengah-tengah sakralitas prosesi, Magau Parigi menyematkan siga — ikat kepala khas yang menandai resmi dan sahnya seorang pemimpin.
Tak ada yang lebih sederhana dari sehelai kain, dan tak ada yang lebih berat dari maknanya. Kain itu bukan hanya penanda budaya, tapi juga sumpah yang diam-diam diikatkan di antara helaiannya.
Di penghujung acara, Raulu Cinde dan beras kuning dikibaskan, sebagai lambang keselamatan, keberkahan, dan janji tak tertulis antara pemimpin dan rakyat.
Tak ada pidato panjang. Hanya tatapan, anggukan, dan embun yang mulai mengering di ujung daun pisang.
Di Parigi yang dikitari Teluk Tomini itu, kepemimpinan tidak dimulai di ruang sidang atau di balik meja kantor. Ia dimulai dari dalam hati orang-orang tua, dari debur laut yang tahu sejarah, dari tanah yang bersedia memberi jejak.
Dalam masyarakat yang masih menjaga adat sebagai nadi kehidupan, menjadi pemimpin berarti lebih dari sekadar jabatan. Ia adalah anak dari tradisi, saudara dari sejarah, dan ayah dari masa depan.
Dan pagi itu, 14 Juni 2025, di antara irama gong dan gumam doa, Parigi Moutong sekali lagi menulis takdirnya sendiri. Dengan adat sebagai pena, dan pemimpin sebagai janji yang baru saja diikrarkan kembali. (*)

Tinggalkan Balasan