Tanpa nikel, dunia bisa lumpuh. Teknologi akan mandek, transisi energi hijau terhambat, dan industri strategis seperti pertahanan, transportasi, dan konstruksi bisa mengalami disrupsi besar.

Bagi Indonesia, nikel bukan hanya sumber daya alam. Ia adalah aset geopolitik, peluang ekonomi masa depan, dan pilar penting dalam membangun kemandirian industri nasional.

Nikel adalah bahan penting dalam baja tahan karat (stainless steel), yang digunakan luas dalam peralatan dapur, alat elektronik, hingga infrastruktur bangunan.

Pada perangkat elektronik, nikel hadir dalam bentuk baterai lithium-ion, komponen solder, dan pelapis logam agar tahan korosi. Sebuah ponsel rata-rata mengandung hingga 0,05 gram nikel, terlihat kecil, namun krusial untuk daya tahan dan efisiensi baterai.

Dalam kendaraan listrik (EV), nikel menjadi bahan utama katoda baterai. Katoda berbasis nikel mampu menyimpan energi lebih banyak, memungkinkan mobil melaju lebih jauh dalam sekali pengisian.

INDONESIA RAJA NIKEL DUNIA

Menurut data US Geological Survey (2023), Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 21 juta ton, atau sekitar 22% dari total cadangan global. Posisi ini membuat Indonesia menjadi pusat perhatian industri teknologi dunia—terutama dalam rantai pasok kendaraan listrik.

Namun pemerintah tak ingin berhenti sebagai penambang. Sejak 2020, Indonesia resmi melarang ekspor bijih nikel mentah, demi mendorong hilirisasi dalam negeri.

Salah satu kawasan yang menjadi model industrialisasi terintegrasi adalah, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Sulawesi Tengah.

Kawasan ini dihuni oleh berbagai perusahaan nasional dan multinasional yang membangun smelter, pabrik pengolahan nikel, hingga fasilitas produksi bahan baku baterai EV.

Hingga akhir 2024, IMIP ditargetkan memiliki kapasitas produksi nikel matte dan produk turunan lain mencapai jutaan ton per tahun, menjadikannya salah satu pusat produksi logam baterai terbesar di Asia Tenggara.

Klik halaman selanjutnya