PALU, KAIDAH.ID – Pengurus Besar (PB) Alkhairaat menyatakan komitmennya untuk menegakkan marwah pendiri Alkhairaat, HS Idrus bin Salim Aljufri (Guru Tua), menyusul dugaan ujaran kebencian yang dilontarkan Fuad Plered beberapa waktu lalu. Lembaga ini menegaskan penyelesaian perkara tersebut perlu dikembalikan ke ranah adat.

Penegasan ini disampaikan dalam pertemuan antara PB Alkhairaat, Badan Musyawarah Adat (BMA) Sulawesi Tengah, dan dua utusan Fuad Plered yang datang ke Gedung PB Alkhairaat di Palu, Sabtu, 5 Juli 2025.

Dua utusan tersebut adalah Muhammad Mukhlasir Ridho Syukronil Khitam (kuasa hukum) dan Fuad Sadid Sangke (santri dari Jayapura). Mereka menyampaikan maksud silaturahmi, sekaligus membicarakan ihwal sanksi adat yang telah dijatuhkan oleh Majelis Wali Adat pada 10 April 2025.

Ketua PB Alkhairaat, Ustadz Husen Habibu, menegaskan pertemuan itu bukan dalam rangka memberikan pengampunan. Menurutnya, PB Alkhairaat masih harus melakukan konsolidasi internal dengan abnaulkhairaat dan komponen lain.

“Yang marah bukan hanya di Palu, tapi sampai di Jakarta, Surabaya, dan seluruh kawasan Timur Indonesia. Kami tidak ingin Alkhairaat disebut pencundang,” tegasnya.

PB Alkhairaat, kata Husen Habibu, menyerahkan urusan hukum kepada negara, namun sanksi adat tetap menjadi prioritas.

ADAT KAILI: TAK BISA DITAWAR

Sekretaris Umum BMA Sulteng, Ardiansyah Lamasitudju, menegaskan adat bukan sekadar simbol, tetapi sistem hukum yang berpihak pada kebenaran.

“Adat di Sulteng adalah warisan yang telah bertransformasi dari nilai-nilai lama menuju penghormatan pada HAM dan keadilan,” katanya.

Dalam praktiknya, eksekusi sanksi adat yang dahulu berbentuk hukuman fisik kini digantikan dengan simbol hewan, seperti kerbau, sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan moral.

“Kalau pelanggaran ini menyakiti satu orang, cukup seekor kerbau. Tapi karena ini menyakiti ribuan abnaul khairaat di 74 kabupaten/kota, maka jumlahnya harus mewakili semuanya,” jelas Ardiansyah.

Ia menyebut sanksi ini bukan sebagai syukuran, tapi bentuk edukasi adat, agar masyarakat tidak meniru perbuatan serupa di masa depan.

Untuk diketahui, pada 10 April lalu, Majelis Wali Adat Patanggota Ngata Palu telah menjatuhkan sanksi adat terhadap Fuad Plered berupa:

  • Pembayaran Givu (denda adat)
  • Sanksi sosial Nakaputu Tambolo (Putus Leher)
  • Nibeko To Sala Dako Ri Todea (pengasingan dari pergaulan sosial masyarakat)

Sanksi Givu dijatuhkan dalam bentuk simbol-simbol adat sebagai representasi dari beratnya kesalahan yang dilakukan:

  • Alima Mba Bengga Pomava Sambei Tambolo (5 ekor kerbau besar pengganti leher).
    Alima Nggayu Gandisi Posompu (5 helai kain kafan putih).
  • Alima Dula Nu Ada Potande Balengga (5 dulang adat tempat kepala).
  • Alima Mata Guma (5 bilah kelewang/parang adat).
  • Alima Ntonga Tubu Bula (5 mangkuk adat putih).
  • Alima Ntonga Pingga Bula Tava Kelo (5 piring putih bermotif daun kelor).
  • 99 keping uang ringgit (setara Rp2,2 juta)

Sekjen PB Alkhairaat, Jamaluddin Mariadjang, meminta semua pihak tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

“Lebih baik lambat dan tepat, daripada buru-buru dan salah. Ini bukan hanya soal adat, tapi juga soal membangun peradaban di mana adat berdiri di atas budaya,” katanya.

Ketua Komwil Alkhairaat Sulteng, Arifin Sunusi, menyampaikan, hanya wilayahnya yang tidak melaporkan kasus ini ke polisi, karena ingin menyelesaikannya melalui jalur adat. Ia juga menyambut baik sikap Fuad Plered yang mengutus wakilnya dan mengakui kesalahan.

Namun ia menegaskan, perubahan atas sanksi hanya bisa diputuskan oleh Toma Oge, bukan melalui negosiasi biasa.

PB Alkhairaat menegaskan, organisasi ini tidak menyimpan dendam terhadap siapapun. Namun, tegas Husen Habibu, keputusan adat harus dijalankan demi menjaga kehormatan Guru Tua dan institusi Alkhairaat.

“Kalau adat yang sudah diputuskan tidak dijalankan, maka kami kehilangan marwah. Ini bukan soal pribadi. Ini soal institusi yang sudah berdiri hampir satu abad,” tandasnya.

Dugaan ujaran kebencian yang dimaksud merujuk pada pernyataan Gus Fuad Plered di media sosial yang dianggap menghina Guru Tua, tokoh sentral dan pendiri Alkhairaat, yang dihormati luas oleh komunitas Muslim di kawasan Indonesia Timur. (*)

Editor: Ruslan Sangadji