PAGI BARU SAJA menyapa langit Palu, tetapi Moh Arif Latjuba telah lebih dahulu duduk di ruang kerjanya. Di depannya terbentang peta laut, bukan sekadar lembaran bergaris biru, melainkan lanskap harapan dan perjuangan ribuan nelayan dari Banggai Laut hingga Parigi Moutong.
Sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Tengah, Moh Arif Latjuba memikul tugas berat namun bermakna: menerjemahkan semangat maritim Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur Reny Lamadjido ke dalam gerakan konkret di lapangan. Semua bermuara pada salah satu visi Pemerintah Provinsi Sulteng: Berani Tangkap Banyak.
“Bukan sekadar jargon,” kata Arif. “Ini soal keberanian menata ulang sistem, memberi kepercayaan, dan membuka akses agar laut kembali jadi sumber penghidupan yang berdaulat.”
Visi SultengBerani Tangkap Banyak, tak sekadar berbicara tentang produktivitas. Ia memuat gagasan besar tentang kedaulatan pangan laut, modernisasi armada nelayan, keberlanjutan sumber daya, dan pemerataan akses terhadap fasilitas perikanan.
Di bawah kepemimpinan Arif, semangat itu dijelmakan dalam sejumlah kebijakan: penguatan armada tangkap, penyaluran bantuan alat tangkap dan budidaya, hingga pembangunan dan rehabilitasi pelabuhan perikanan.
SINERGI, INFRASTRUKTUR DAN GERAKAN AKAR RUMPUT
Salah satu tonggak penting terjadi pada Juni 2024, ketika Moh. Arif Latjuba memimpin forum sinkronisasi program kelautan dan perikanan se-Sulteng di Morowali. Forum tersebut mempertemukan lima Direktur Jenderal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta seluruh kepala dinas kabupaten/kota.
Dari pertemuan itu, lahirlah semangat kolektif untuk memperkuat sinergi pusat dan daerah. Arif menyebut momen tersebut sebagai “titik belok menuju konsolidasi pembangunan laut Sulteng”.
Pasca-forum, berbagai bantuan mulai digulirkan. Di Poso, lima kelompok nelayan menerima mesin ketinting 9 PK. Di Buol, bantuan senilai Rp888 juta disalurkan, mencakup alat budidaya dan fasilitas pengawasan hasil tangkap. Arif melihat setiap jaring, mesin, dan perahu bukan sekadar alat, tapi fondasi ekonomi keluarga pesisir.
“Kami ingin nelayan kita tidak hanya berani melaut, tapi juga pulang dengan hasil. Dengan harga yang layak. Dengan senyum di wajah anak-anak mereka,” ujarnya.
Lebih dari sekadar menyalurkan bantuan, Arif mendorong pembentukan Komite Pengelolaan Bersama Perikanan, forum partisipatif yang menyatukan nelayan, akademisi, LSM, dan pemerintah daerah dalam merumuskan arah kebijakan.
Bagi Arif Latjuba, kebijakan kelautan tak boleh sekadar turun dari atas, tapi juga harus tumbuh dari bawah—dari pengalaman dan kebutuhan masyarakat pesisir itu sendiri.
DARI DAPUR NELAYAN HINGGA PELABUHAN MASA DEPAN
Dalam bidang infrastruktur, DKP Sulteng telah mengalokasikan lebih dari Rp58 miliar sejak 2022 untuk membangun dan merehabilitasi lima pelabuhan perikanan di wilayah strategis.
Salah satu fokusnya adalah pengusulan kembali pembangunan lanjutan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Mato di Banggai Laut, yang sempat tertunda akibat efisiensi anggaran pusat. Proyek itu, menurut Arif, adalah gerbang masa depan bagi ekonomi bahari di wilayah timur Sulteng.
Keseriusan Arif juga terlihat dalam kampanye GEMARIKAN (Gerakan Masyarakat Makan Ikan), yang digelar secara rutin setiap tahun. Ia menyadari, pembangunan kelautan tak hanya soal nelayan dan pelabuhan, tapi juga tentang kebiasaan makan keluarga di dapur-dapur rumah tangga.
Dari lomba masak, edukasi gizi, hingga bazar ikan segar, kampanye ini bertujuan menumbuhkan generasi sehat dan kuat dari protein laut.
“Konsumsi ikan kita kini 71,8 kilogram per kapita. Itu pencapaian, tapi juga tantangan. Laut kita kaya, tapi belum semua orang makan dari kekayaan itu,” ujar Arif.
Ia pun membuka ruang inovasi dan teknologi digital dalam pengelolaan kelautan. Sistem pelacakan kapal (spot trace), digitalisasi pelabuhan, serta kontrol produksi berbasis data mulai diperkenalkan.
Arif bahkan meninjau langsung Pelabuhan Perikanan Samudra Kendari, untuk mempelajari sistem pengawasan berbasis teknologi yang dapat diadaptasi di Sulteng.
Namun, di balik semua pencapaian itu, Arif tetap menjejak bumi. Baginya, laut bukan sekadar ruang ekonomi, melainkan ruang keberadaban—tempat keluarga tumbuh, adat dijaga, dan warisan budaya dijalankan.
Ia percaya, masa depan Sulawesi Tengah sebagai provinsi maritim hanya bisa dibangun jika semua elemen bergerak bersama, dari pusat hingga desa pesisir.
“Ketika semua pihak bergerak, Berani Tangkap Banyak bukan lagi slogan. Ia menjadi gerakan kolektif. Sebuah jalan pulang bagi kesejahteraan rakyat pesisir,” tandas Moh Arif Latjuba dengan mata yang tak henti menatap biru laut Sulawesi.
Jadi, dalam setiap kebijakan, dalam tiap jaring yang dilempar ke laut, Moh Arif Latjuba memegang kompasnya: “Berani Tangkap Banyak” bukan hanya soal ikan, tetapi tentang arah pulang bagi kesejahteraan rakyat pesisir Sulawesi Tengah. (*)
Penulis: Ruslan Sangadji

Tinggalkan Balasan