Jadi, sebenarnya, seperti kata Jusuf Kalla di berbagai kesempatan, “Perundingan damai untuk Aceh adalah dari HMI ke HMI, atau pertemuan sehimpunan.”
Begitulah. Agenda yang berbeda, yang sama-sama diantar dengan hati yang panas, menjadi dingin dan dipertautkan oleh sekeping masa lalu bernama HMI.
Ketika saya menelepon M. Jusuf Kalla (JK), yang saat itu adalah Wakil Presiden RI, 2004- 2009 dan pengambil inisiatif perdamaian Aceh, tentang pengakuan Zaini Abdullah bahwa ia seorang aktivis HMI di masa lalu, JK langsung menimpali: “Hamid, Insya Allah kita bisa damai. Ambil air wudhu segera dan shalat syukur. Ini pintu masuk yang amat baik,” tegas JK.
Jelas buat saya, HMI adalah sebuah jejaring sosial yang merambah ke mana-mana. jejaring ini amat efektif ternyata di hari-hari berikutnya.
Perjanjian damai Aceh yang menghentikan konflik berdarah selama 30 tahun, bisa dilakukan dengan sapaan antara sesama warga sehimpunan. Satu mewakili pemerintah RI dan yang satunya lagi mewakili kelompok yang menggempur pemerintah RI.
HMI ternyata menjadi jembatan yang menghubungkan dua arah yang berlawanan dan melancarkan perjalanan siapa saja di atasnya. HMI jelas jadi sebuah pengikat agar siapa saja tidak bercerai-berai. Sebuah ikatan agar manik-manik tidak berjatuhan dan berceceran entah ke mana. HMI adalah sebuah benda yang bergerak dan lentur.
Ia telah melewati rentang waktu dan jarak ruang republik yang begitu panjang. Lantaran itulah, HMI telah berjejak ke belakang. Dan jejak-jejak itulah yang membuatnya kian efektif menjadi jembatan sosial
dengan fondasi kultural.
Dengan gerakan yang lentur membuat HMI menjadi sebuah telaga yang menampung semua aliran air, dari mana saja datangnya. la bukan sebuah bendungan yang hanya menampung aliran air dari satu arah. Dari sini pulalah seyogianya kita memandang, mengapa kader-kader HMI, selain berada di mana-mana melting pot society, maka HMI juga bisa dipersepsikan sebagai melting pot institution.
Kelenturan, juga berasal dari mana-mana. Bila Amerika Serikat dikenal juga, membuat para kader HMI tegak tengadah dengan prinsip penghargaan yang tinggi terhadap eloknya kemajemukan. Dengan kelenturanlah membuat kader-kader HMI selalu ceria menegakkan pandangan ke arah pelangi yang selain berwarna-warni, juga pertanda kesejukan, setelah badai hujan mengguyur.
Saya bangga menjadi kader HMI. Ajaran Kepelangian ini, disempurnakan lagi orientasi sikap kritis yang menjadi nafas pergerakan. Kritis dalam berpikir dan bersikap. Ajaran kritis ini tertanam bagi siapa saja yang pernah bersentuhan dengan himpunan.
Dalam perspektif inilah mengapa kita acapkali menyaksikan penampangan para kader HMI, terbiasa keluar dari pakem kejumudan dan bersilangan arah dengan sesuatu yang mapan. Sikap kritis inilah yang melahirkan budaya intelektual dalam HMI.
Menyoal ihwal adalah inti pokok ajaran himpunan. Meragukan soal adalah fondasi perkaderan. Gelisah menemukan jawaban dan meragukan realitas adalah prasyarat mutlak untuk melebel diri sebagai warga himpunan. Simpul kata, kegelisahan intelektual yang disandingkan dengan ajaran kepelangian adalah pilar himpunan.
Perjalanan saya di HMI, amat beda dibanding teman-teman lainnya, yang meniti karir dari jenjang satu ke jenjang yang lain. Empat hari setelah saya ikut Basic Training di sebuah rumah di bagian selatan Kota Makassar, saya langsung ikut Kongres HMI yang saat itu dilaksanakan di Makassar.
Biasanya, peserta Kongres itu adalah para pimpinan HMI atau kader-kader yang telah “beruban” lantaran kelamaan. Saya sama sekali berbeda.
Ceritanya seperti berikut. Guru saya di SMP dan SMA di Parepare, adalah aktivis HMI tulen. Maka, ketika Kongres HMI di Makassar, mereka memasukkan saya menjadi peserta Kongres, mewakili kota saya, Parepare. Suatu loncatan karir di himpunan yang begitu dahsyat.
Klik halaman selanjutnya >


Tinggalkan Balasan