JAKARTA, KAIDAH.ID – Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan, mendorong revisi Undang-Undang Hak Cipta, menyusul polemik pembayaran royalti musik oleh kafe dan restoran.

Wamenko Otto Hasibuan mengatakan, peraturan royalti musik saat ini masih menyisakan sejumlah masalah, termasuk definisi penggunaan musik secara komersial yang belum jelas.

Menurutnya, tidak semua kafe atau restoran wajib membayar royalti, hanya yang memanfaatkan lagu untuk tujuan komersial dan memperoleh keuntungan.

“Kalau sifatnya komersial, mendapatkan untung, ya wajib bayar. Tapi kalau tidak komersial bagaimana? Rate-nya juga harus diatur,” ujar Otto di Jakarta, Senin, 11 Agustus 2025.

Otto menjelaskan, ide pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) berawal dari disertasinya mengenai royalti musik. Lembaga ini bertugas mewakili pencipta lagu yang memberi kuasa untuk mengelola dan mengomersialkan karya mereka.

Namun, Otto menilai persoalan muncul, karena tidak semua pencipta mendaftarkan diri ke LMKN. Akibatnya, sebagian pelaku usaha membayar royalti ke LMKN, sementara pencipta yang tidak terdaftar tidak menerima pembayaran.

Ia menegaskan, perlunya sosialisasi dan kejelasan aturan agar pelaku usaha memahami siapa saja yang wajib membayar royalti, serta tarif yang berlaku.

“Jangan sampai semua kafe akhirnya memilih tidak memutar lagu karena takut melanggar hak cipta,” tandas Wamenko Otto Hasibuan. (*)

Editor: Ruslan Sangadji