Oleh: Ruslan Sangadji/Kaidah.ID
PEKAN LALU, saya nongkrong bersama sejumlah elite Partai Golkar pusat dan Sulawesi Tengah di sebuah kafe di Jakarta Pusat. Suasananya akrab, gelas-gelas kopi dan camilan ringan jadi teman obrolan. Meski awalnya bercampur antara canda dan cerita ringan, ujung-ujungnya tetap saja politik yang jadi sajian utama, gaya orang Palu kalau sudah duduk di warkop.
Dari cerita ringan sampai yang serius, ujung-ujungnya nyangkut juga ke soal Musda Golkar Sulawesi Tengah yang sebentar lagi digelar. Panitia menjadwalkan, Musda XI itu berlangsung pada 24 Agustus 2025 di Sriti Convention Hall, Jalan Durian, Palu Barat.
Saya tahu, mereka yang ada di depan saya, bukanlah orang sembarangan. Mereka tokoh penting, yang sehari-harinya ikut menentukan arah beringin. Tapi ketika saya sengaja melempar pertanyaan soal kemungkinan diskresi dari Ketua Umum DPP Golkar, Bahlil Lahadalia, untuk Mohammad Arus Abdul Karim, suasana mendadak berubah.
Obrolan yang tadi cair tiba-tiba berhenti. Mereka kompak diam, seakan ada dirijen tak kasat mata memberi aba-aba: tutup mulut.
Dari situ saya makin yakin: posisi Arus benar-benar berada di persimpangan jalan. Ia bukan sekadar Ketua DPD dua periode, melainkan juga Ketua DPRD Sulawesi Tengah,tokoh sentral beringin di daerah ini.
Di satu sisi, regulasi partai jelas memberikan beleid, jabatan ketua maksimal dua periode. Tapi di sisi lain, arus dukungan kepada Mohammad Arus Abdul Karim terlalu kuat untuk diabaikan.
Amran Bakir Nai, Sekretaris DPD Golkar Sulteng, bahkan blak-blakan menyebutkan angka: sekitar 80 persen pemegang hak suara di Musda sudah mengerucut ke Arus.
“Arus dukungan untuk Pak Arus memang sangat kencang. Kurang lebih 80 persen suara sudah mengarah ke beliau,” kata Amran, Kamis, 21 Agustus 2025.
Angka itu bukan sekadar statistik. Ia menegaskan realitas politik: Arus masih figur paling dominan, bahkan nyaris tanpa tandingan.
Lalu, siapa lawannya? Hingga kini, belum ada yang betul-betul serius tampil. Tokoh muda seperti Mohamad Irwan Lapata, sejak awal sudah menyatakan ikut Arus.
Erwin Burase, Bupati Parigi Moutong, juga berada di barisan yang sama. Dari kalangan senior, Yus Mangun masih menyimpan kartu. Saat ditanya melalui pesan pribadi, anggota DPRD Sulteng lima periode itu hanya menjawab: Sebentar siang Kak Yus di pesawat menuju Palu.
Pertanyaannya sederhana: siapa yang berani melawan Arus? Jawabannya, setidaknya untuk Musda kali ini, mungkin tak ada atau belum ada.
Namun politik bukan hanya soal keberanian. Ia juga soal aturan main. Dan di sinilah semua kembali ke titik semula: diskresi.
Diskresi dalam politik beringin ibarat pintu rahasia. Ia bisa membuka jalan bagi kelanjutan kepemimpinan, meski aturan organisasi berkata sebaliknya.
Sejarah Golkar sudah berulang kali mencatat, keputusan diskresi kerap menjadi penentu: bisa melanggengkan, bisa juga mengakhiri.
Dan Arus, dengan segala kekuatannya, kini berdiri tepat di depan pintu itu.
Musda XI Golkar Sulteng pada 24 Agustus 2025, jelas akan jadi momentum krusial. Hasilnya tak hanya menentukan siapa yang memimpin lima tahun ke depan, tapi juga arah konsolidasi beringin menuju kontestasi 2029.
Saya jadi teringat satu hal: Golkar memang partai tua, tapi selalu punya cara untuk bertahan. Kadang lewat aturan, kadang kompromi, dan tak jarang lewat diskresi.
Mungkin begitulah wajah politik beringin: selalu menemukan jalan, bahkan ketika tampak buntu. Hanya saja, kali ini jalan itu sedang menunggu satu keputusan. Dan nasib Mohammad Arus Abdul Karim, di persimpangan jalan yang menentukan, sepenuhnya ada di tangan Bahlil Lahadalia, tokoh nasional yang kampusnya tak tercatat di google. (*)
Wallahu a’lam


Tinggalkan Balasan