Oleh: Ruslan Sangadji/Kaidah.ID
AKSI UNJUK RASA masih berlangsung di sejumlah daerah. Dan pada saat yang sama, layar ponsel kita tak pernah sepi. Foto-foto dan video berseliweran, seakan ingin menceritakan kebenaran di mata kita. Namun, di antara cahaya dan warna itu, bisa saja terselip bayangan palsu, informasi yang menipu, yang meracuni pandangan dan hati.
Setiap potongan gambar yang kita lihat, bukan selalu mencerminkan kenyataan. Setiap video yang viral, bukan selalu menampilkan kebenaran. Kadang, satu detik yang sengaja dibuat salah, bisa mengubah seluruh cerita, membuat kita terseret dalam arus kebohongan tanpa sadar.
Di sinilah kuasa kita muncul, di hati yang bisa menimbang, di pikiran yang bisa menilai, dan di ibu jari yang menekan keypad HP. Sebelum membagikan sesuatu, berhentilah sejenak. Tarik napas, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah ini benar? Apakah saya yakin dengan informasi ini?”
Menyebarkan hoaks bukan sekadar menekan tombol bagikan. Ia seperti menabur benih di tanah yang subur, benih yang bisa tumbuh menjadi kebingungan, kepanikan, bahkan konflik. Di tangan kita, setiap informasi memiliki potensi untuk membangun atau meruntuhkan.
Jangan biarkan emosi sesaat menguasai logika. Kegeraman, simpati, atau rasa ingin cepat tahu sering membuat kita lupa pada satu hal sederhana memeriksa fakta atau cek fakta. Di era informasi ini, menjadi bijak bukan sekadar membaca, menonton dan mendengar, tetapi menilai dengan hati dan akal.
Ponsel kita adalah jendela dunia, tapi juga bisa menjadi cermin. Apa yang kita bagikan mencerminkan siapa kita. Apakah kita ingin menjadi pembawa cahaya, atau penyebar kabut yang menutupi kebenaran? Pilihan itu ada di setiap ketukan jari.
Menjadi bijak mencermati setiap informasi apalagi di tengah gelombang unjuk rasa, adalah pilihan terbaik kita. Biarkan kita menjadi penyeimbang. Biarkan hati kita menjadi filter, biarkan pikiran kita menjadi penuntun. Sebelum menekan tombol “bagikan”, tanyakan, apakah saya menambahkan nilai atau justru menyesatkan?
Karena di akhir hari, kuasa terbesar bukan ada pada layar yang menampilkan informasi, tetapi pada hati dan ibu jari kita. Dan dari situlah lahir sejarah, apakah sejarah itu menjadi kisah kebijaksanaan atau gelombang kebingungan, semuanya tergantung pada kita.
Dan di sinilah kita, di persimpangan antara cahaya dan bayangan, antara kebenaran dan ilusi. Setiap detik yang kita lalui adalah pilihan, setiap ketukan jari adalah doa dan tanggung jawab. Jangan biarkan kabut informasi menutupi hati nurani yang jernih.
Seperti sungai yang mengalir, berita dapat menyejukkan atau menghanyutkan. Kita harus menjadi bendungan yang bijak, menahan arus yang berbahaya, dan membiarkan hanya yang murni dan benar mengalir ke sekeliling kita.
Dalam diam, di sela layar yang gemerlap, tersimpan kekuatan untuk menahan dan menimbang. Kekuasaan itu lembut, tak membutuhkan teriakan atau sorak sorai. Ia lahir dari kesadaran dan ketenangan hati.
Setiap hoaks yang ditahan adalah pelita kecil yang menolak gelapnya kebingungan. Setiap fakta yang diperiksa adalah benih yang menumbuhkan kedamaian, membentuk masyarakat yang tidak mudah terombang-ambing oleh rumor.
Dan ketika malam turun, ketika suara aksi mereda dan layar ponsel kembali hening, kita akan menyadari, sejarah bukan dibuat oleh keramaian atau gesekan, tetapi oleh ketelitian, kehati-hatian, dan keberanian untuk berkata “tidak” pada kebohongan.
Mari kita jaga cahaya itu. Biarkan hati kita menjadi lentera, pikiran kita menjadi pelita. Sebelum ibu jari menekan tombol “bagikan”, mari tanyakan pada diri sendiri: apakah saya menabur kebenaran, atau menyebar kabut yang menyesatkan? Di situlah kuasa sejati berada, di tangan kita, di hati kita, dan di pilihan yang kita ambil. (*)
Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan