Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
DALAM DEMOKRASI, anggota DPR dipilih melalui proses panjang dan melelahkan. Mereka berkampanye, mengetuk pintu-pintu rumah rakyat, menyapa di pasar, bahkan menundukkan kepala untuk meminta restu.
Semua itu dilakukan, demi mendapatkan kepercayaan rakyat. Namun, begitu terpilih, peran mereka bukan lagi sekadar perpanjangan tangan dapil, melainkan representasi seluruh rakyat Indonesia. Itulah mandat besar yang melekat di pundak seorang legislator.
Karena itu, tutur kata anggota DPR tidak bisa sembarangan. Mereka berbicara bukan hanya sebagai individu, tetapi sebagai institusi. Setiap pernyataan yang terucap, akan dipersepsikan sebagai suara parlemen, sekalipun keluar dari mulut seorang anggota secara pribadi.
Inilah yang membuat posisi anggota DPR begitu strategis sekaligus rentan: suara mereka bisa menenangkan publik, tetapi bisa juga menyulut emosi rakyat.
Pernyataan Ahmad Sahroni, politisi NasDem, menjadi contoh nyata. Dalam kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara, Jumat, 22 Agustus 2025, ia melontarkan pernyataan yang langsung menyulut kritik keras. “Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak bodoh semua kita,” kata Sahroni di hadapan publik.
Ucapan bernada kasar itu, sontak melukai hati masyarakat. Alih-alih menenangkan suasana di tengah situasi politik yang sedang tidak baik-baik saja ini, kata-kata Sahroni justru dianggap menantang rakyat.
Mungkin ia tidak bermaksud demikian, namun publik merasakan sebaliknya. Dan dalam politik, persepsi publik sering kali lebih menentukan daripada niat pribadi. Karena niat pribadi, itu hanya milik dia dan Tuhan.
Inilah yang kerap dilupakan para legislator. Mereka memandang ucapan hanyalah retorika politik, padahal bagi rakyat ucapan itu bisa terasa seperti penghinaan. Rakyat sudah menghadapi beban hidup yang berat, ekonomi yang seret, harga-harga yang naik, lapangan kerja yang sempit, lalu dihadapkan pada pernyataan yang terkesan meremehkan.
Dan luka itu semakin dalam, ketika keluar dari mulut seorang yang seharusnya membela mereka.
Kata-kata Sahroni bukan hanya soal komunikasi politik yang gagal, tetapi juga cermin lemahnya empati sebagian wakil rakyat.
Demokrasi menuntut wakil rakyat untuk hadir, bukan hanya dengan regulasi dan kebijakan, tetapi juga dengan sensitivitas rasa.
Di era digital, di mana setiap kalimat bisa viral dalam hitungan detik, tanggung jawab untuk menjaga tutur kata menjadi semakin krusial.
Anggota DPR mestinya sadar, mereka bukan sekadar politisi, melainkan simbol negara. Seperti halnya seorang diplomat yang berhati-hati setiap kali berbicara, karena membawa nama bangsa, begitu pula seorang legislator. Mereka membawa nama rakyat Indonesia. Ucapan yang salah arah, bisa meruntuhkan kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun.
Dalam sejarah politik kita, tak sedikit pernyataan politisi yang memicu gelombang protes. Kata-kata kasar, ancaman, atau ungkapan meremehkan, kerap menjadi bensin yang menyulut api di tengah masyarakat yang sudah panas. Situasi inilah yang seharusnya dihindari. Anggota DPR harus menjadi freezer suasana, bukan malah menjadi provokator dengan kalimat yang tidak bijak.
Di titik ini, pendidikan politik menjadi mutlak diperlukan. Bukan hanya untuk rakyat, tetapi juga bagi wakil rakyat itu sendiri.
Bagaimana mengelola komunikasi publik, bagaimana memilih diksi yang tepat, dan bagaimana menunjukkan empati dalam ucapan, semua itu perlu menjadi bagian dari pembinaan yang berkelanjutan bagi anggota legislatif. Demokrasi hanya akan sehat bila para aktornya mampu berkomunikasi dengan dewasa.
Publik tentu tidak menuntut wakil rakyat menjadi sempurna. Mereka hanya berharap ucapan para anggota DPR mencerminkan rasa hormat dan tanggung jawab.
Ucapan yang bijak bisa menjadi penyejuk di tengah konflik, penguat di tengah krisis, bahkan perekat ketika perbedaan memanas. Itulah kualitas yang seharusnya melekat pada seorang representasi rakyat.
Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya ditentukan oleh mekanisme elektoral atau undang-undang yang tertulis, tetapi juga oleh cara wakil rakyat berinteraksi dengan rakyatnya.
Kata-kata mereka adalah wajah demokrasi. Apakah wajah itu akan terlihat ramah, menenangkan, dan bijak, atau justru garang, menyakitkan, dan arogan. Semuanya ditentukan oleh seberapa besar kesadaran mereka terhadap tanggung jawab moral dalam setiap kalimat yang diucapkan.
Rakyat memilih dengan harapan, bukan dengan ketakutan. Karena itu, setiap ucapan anggota DPR seharusnya menjadi jembatan untuk memperkuat kepercayaan, bukan jurang yang memperlebar jarak. Jika wakil rakyat gagal menjaga tutur kata, jangan salahkan bila rakyat suatu saat benar-benar merasa tidak lagi memiliki wakil yang berbicara untuk mereka. (*)
Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan