Ketidakstabilan politik pun ikut mempercepat: perebutan kekuasaan di senat Romawi, kudeta gagal di Moskow, hingga pembunuhan tokoh politik di Jerman. Ditambah lagi korupsi, penyimpangan ideologi, dan hilangnya legitimasi.

Begitu rakyat berhenti percaya, sehebat apa pun pertumbuhan ekonomi di atas kertas, sekuat apa pun aparat negara, kekuasaan itu hanya tinggal menunggu waktu.

Hari ini, Indonesia berdiri di persimpangan yang rawan. Krisis global menekan ekonomi, harga-harga melambung, jurang sosial semakin lebar. Polarisasi politik kian tajam, masyarakat terbelah dalam narasi besar yang lebih menguntungkan elite ketimbang rakyat.

Partai politik yang semestinya menjadi jembatan aspirasi, justru sibuk bertransaksi, menghitung koalisi dan kursi kekuasaan seolah demokrasi tak lebih dari aritmetika parlemen.

Sementara itu, rakyat kecil merasa suara mereka kian hilang, tenggelam dalam jargon pembangunan yang nyaris tak menyentuh kehidupan nyata akar rumput.

Suasana ini terasa akrab, bagi siapa pun yang membaca sejarah. Weimar lahir dengan penuh harapan, tapi gagal menjaga legitimasi rakyat. Romawi hancur oleh pembusukan internal. Uni Soviet bubar saat rakyat tak lagi percaya pada janji negara. Orde Baru tumbang ketika rakyat muak pada korupsi dan ketidakadilan. Pertanyaannya: apakah Indonesia akan mengulang siklus itu?

Sejarah berulang kali mengingatkan, kekuasaan tak pernah kekal. Demokrasi bisa runtuh ketika ruhnya hilang, ketika pemilu sekadar rutinitas lima tahunan tanpa makna nyata bagi rakyat.

Demokrasi sejatinya adalah kepercayaan. Ia hanya bertahan bila rakyat merasa dilindungi, disejahterakan, dan diperlakukan adil. Tanpa itu, demokrasi hanyalah formalitas kosong.

Hari ini, tanda-tanda erosi kepercayaan itu nyata. Korupsi merajalela. Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Rakyat makin terpinggirkan. Abolisi dan amnesti diberikan justru saat publik menuntut hukum yang tegas. Sebagian elite politik lebih sibuk mempertahankan kekuasaan daripada menepati janji. Semua ini, bila dibiarkan, bisa menjadi bahan bakar krisis yang lebih besar.

Dari Romawi hingga Weimar, dari Uni Soviet hingga Revolusi Iran, dari Khilafah Utsmaniyah hingga Orde Baru, pelajarannya sama: ketika rakyat kehilangan kepercayaan, jatuhnya rezim hanyalah soal waktu. Sejarah tidak pernah bosan mengulang diri.

Pertanyaannya, apakah Indonesia mau belajar dari masa lalu, atau menunggu saatnya tercatat sebagai bab baru dalam daftar panjang runtuhnya pemerintahan di dunia?

Demokrasi di negeri ini lahir dari pengorbanan besar. Ia berdiri di atas darah dan air mata rakyat yang menuntut keadilan. Jangan biarkan pengorbanan itu sia-sia hanya karena keserakahan dan kelalaian penguasa. Sejarah sudah cukup membuktikan: ketika kepercayaan rakyat hilang, runtuhnya rezim hanyalah soal waktu.

Maka, jika penguasa abai, demokrasi hanya tinggal nama, kosong tanpa makna. Jadi, pilihan ada di tangan kita: belajar dari sejarah dan memperbaiki arah, atau membiarkan Indonesia tercatat sebagai satu lagi babak runtuhnya sebuah rezim. (*)