Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

DI TENGAH RIUH RENDAHNYA situasi politik nasional yang tidak menentu, publik dikejutkan oleh sikap sejumlah partai politik yang menonaktifkan beberapa kader dan pengurusnya, termasuk mereka yang duduk di kursi legislatif.

Nama-nama seperti Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari PAN, hingga Adies Kadir dari Partai Golkar, tiba-tiba menjadi perbincangan hangat.

Keputusan menonaktifkan ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: apakah menonaktifkan berarti sama dengan memberhentikan? Ataukah ada makna lain di balik istilah yang terkesan tegas, namun sebenarnya menyimpan nuansa yang lebih lentur?

Secara bahasa, istilah nonaktif berasal dari gabungan kata “non” yang berarti tidak, dan “aktif” yang berarti giat atau berjalan. Jika digabung, maknanya adalah tidak aktif atau berhenti berfungsi sementara.

Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mendefinsikkan, nonaktif berarti dalam keadaan tidak bekerja atau tidak menjalankan fungsi.

Dengan demikian, menonaktifkan seseorang tidak sama artinya dengan mencabut status atau jabatannya secara permanen. Mereka masih berstatus sebagai anggota, masih memiliki identitas politik yang melekat, namun untuk sementara waktu tidak bisa menjalankan hak dan kewajiban yang biasanya melekat pada jabatan tersebut.

Inilah perbedaan penting dengan istilah memberhentikan. Memberhentikan berarti mencabut jabatan secara permanen. Ia kehilangan status, kewenangan, bahkan legitimasi untuk kembali kecuali melalui mekanisme baru, misalnya pemilihan ulang atau pengangkatan resmi.

Sedangkan menonaktifkan, justru memberi ruang bagi kemungkinan untuk kembali aktif. Dalam istilah sederhana, menonaktifkan lebih mirip dengan menekan tombol pause, bukan stop.

Mengapa partai politik lebih memilih kata menonaktifkan daripada memberhentikan? Menurut saya, jawabannya terletak pada strategi dan pertimbangan politik. Menonaktifkan bisa menjadi cara untuk meredam tekanan public, tanpa harus memutus hubungan dengan kader.

Partai bisa menunjukkan sikap tegas seolah menjaga marwah organisasi, tetapi sekaligus membuka pintu bagi kemungkinan rehabilitasi di masa depan.

Langkah ini juga sering diambil, ketika ada persoalan hukum atau etik yang sedang berjalan. Selama proses itu belum selesai, status nonaktif menjaga keseimbangan: tidak terlalu lunak, tapi juga tidak terlalu kejam.

Dalam kasus terkini, langkah yang diambil terhadap Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir, tentu bukan akhir dari karier politik mereka. Mereka hanya “dihentikan sementara” dari panggung peran, bukan dikeluarkan dari arena.

Kartu keanggotaan politik mereka masih berlaku, nama mereka masih terdaftar, dan pintu untuk kembali aktif tetap terbuka lebar jika situasi sudah memungkinkan.

Justru, kadang status nonaktif ini bisa berbalik menjadi modal simpati, karena publik melihat mereka sebagai korban tarik menarik kepentingan politik yang lebih besar.

Maka, ketika mendengar kabar seseorang dinonaktifkan, kita perlu memahami, istilah itu bukanlah vonis mati bagi karier politiknya. Ia adalah jeda, sebuah ruang hening di antara riuh dinamika kekuasaan, yang suatu saat bisa berakhir dengan kembalinya sang tokoh ke panggung.

Dalam politik, kata-kata punya bobot dan pilihan diksi bukan sekadar permainan bahasa. Menonaktifkan bukanlah memberhentikan.

Menonaktifkan adalah langkah sementara, sebuah keputusan yang masih menyisakan kemungkinan untuk kembali, dan mungkin saja suatu hari, publik akan menyaksikan mereka yang hari ini dinonaktifkan, besok kembali berjalan di jalur politiknya dengan energi baru, dengan perilaku baru, dengan lebih santun dalam tutur kata. (*)

Wallahu a’lam