TANGIS PECAH di ruang sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada Rabu malam, 3 September 2025. Kompol Cosmas Kaju Gae, Komandan Batalyon Resimen IV Korps Brimob Polri, berdiri dengan suara bergetar.
Ia berusaha tegar, namun akhirnya air matanya jatuh ketika mengingat peristiwa yang merenggut nyawa seorang pemuda, Affan Kurniawan (21 tahun), pengemudi ojek online yang tak pernah lagi pulang ke rumah setelah malam kelabu 28 Agustus 2025 lalu.
“Demi Tuhan, bukan ada niat untuk membuat orang celaka,” kata Kompol Cosmas Kaju Gae dengan nada penuh penyesalan.
Kalimat itu terhenti sejenak, sebelum ia menunduk, mencoba menahan sesak di dadanya.
Cosmas mengaku baru mengetahui kabar duka tersebut dari media sosial. Saat itu, ia hanya duduk di kursi sebelah kiri pengemudi kendaraan taktis (rantis) Brimob yang melintas di jalanan malam itu.
Tak pernah terlintas di benaknya, roda baja rantis yang biasa digunakan untuk menjaga keamanan, justru akan menjadi penyebab hilangnya nyawa seorang anak muda yang tengah mencari rezeki.
“Pada kesempatan ini saya menyampaikan duka cita yang mendalam kepada korban Affan Kurniawan serta keluarga besarnya,” kata Cosmas.
Suaranya kembali parau, seperti seorang ayah yang meratapi kesalahan tak termaafkan.
Di hadapan majelis sidang, ia juga menundukkan kepala kepada institusinya.
“Saya mohon maaf ke pimpinan Polri, ke rekan-rekan yang sedang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum. Bukan maksud dan tujuan kami. Tujuan kami hanya melaksanakan tugas, menjaga bangsa dan negara,” ucapnya, sebelum akhirnya tangisnya pecah lagi.
“Sesungguhnya saya hanya melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Sesuai perintah institusi dan komandan secara totalitas, untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum juga keselamatan seluruh anggota yang saya wakili, dengan risiko yang begitu besar,” kata Kompol Cosmas
Namun, duka dan air mata tak bisa menghapus fakta. Sidang KKEP memutuskan Kompol Cosmas terbukti melanggar Kode Etik Profesi Polri.
Di hadapan pengawas internal dan eksternal, termasuk perwakilan Kompolnas, majelis membacakan vonis berat: pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.
Keputusan itu menutup perjalanan panjang seorang perwira polisi, yang puluhan tahun mengabdi di Korps Brimob.
Dari balik kursi sidang, ia kini bukan lagi hanya seorang komandan, melainkan manusia yang harus menanggung beban penyesalan atas hilangnya nyawa orang lain.
Sementara di luar ruang sidang, nama Affan Kurniawan tetap hidup dalam ingatan. Pemuda 21 tahun itu, yang bekerja keras sebagai pengemudi ojek online demi keluarga, kini menjadi simbol luka yang mengingatkan bahwa setiap tugas aparat bukan hanya soal negara, tetapi juga tentang nyawa manusia.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menulis di akun Instagram pribadinya, @mohmahfudmd, pada Jumat, 29 Agustus 2025 lalu, bahwa peristiwa tersebut harus dilihat dengan jernih.
Ia menilai, wajar jika massa marah karena menyampaikan aspirasi terkait penegakan keadilan, sehingga tidak boleh ditindak secara represif.
“Sabar dan jernih dalam melihat peristiwa. Mereka yang demo dan marah-marah tak bisa disalahkan dan ditindak secara represif, karena mereka menyampaikan aspirasi dalam penegakan keadilan,” tulis Mahfud MD.
Mahfud juga meminta publik tidak serta-merta menyalahkan aparat lapangan yang mengendarai kendaraan barakuda tersebut.
“Personel aparat berbarakuda di lapangan yang kemudian menabrak pedemo, juga harus dikasihani. Mereka itu mungkin panik karena terjepit. Jika tidak tegas disalahkan oleh atasan, tetapi jika terlalu tegas berhadapan dengan massa,” tandas Mahfud MD yang juga Ketua Dewan Pakar MN KAHMI ini. (*)
Editor: Ruslan Sangadji


Tinggalkan Balasan