Kabupaten Sigi menjadi daerah dengan izin terluas, yakni 26.712 hektare, sehingga ditetapkan sebagai kabupaten prioritas penguatan.

Skema yang berjalan beragam, mulai dari Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, hingga Kemitraan Kehutanan.

Legalitas itu kemudian berkembang menjadi aktivitas ekonomi nyata. Data Dinas Kehutanan mencatat, jagung menjadi komoditas unggulan dengan nilai transaksi Rp4,61 miliar, disusul kakao Rp2,84 miliar, dan rotan Rp1,76 miliar. Secara keseluruhan, nilai transaksi hasil hutan bukan kayu pada 2023 menembus Rp43 miliar.

Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah, Muhammad Neng, optimistis roadmap akan mendorong pertumbuhan lebih tinggi, meski diakui masih banyak potensi yang bisa dioptimalkan.

“Dari 218 kelompok perhutanan sosial dengan 357 unit usaha, baru sekitar 40 persen yang melaporkan nilai ekonomi konservasinya. Potensinya jauh lebih besar dari yang terlihat saat ini,” kata Muhammad Neng.

EMPAT FASE

Peta Jalan Perhutanan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah ini, dirancang sebagai proses bertahap yang terbagi ke dalam empat fase.

Pada 2025-2026, fokus diarahkan pada percepatan izin dan kesiapan daerah dengan target 100 ribu hektare izin baru serta pembentukan 13 tim fasilitator di kabupaten.

Tahun 2026-2027, kelompok tani diharapkan bertransformasi menjadi koperasi berbadan hukum, dengan mendorong kepemimpinan perempuan hingga 30 persen, serta memperkuat program rehabilitasi berbasis hasil hutan bukan kayu.

Tahun 2027-2028, roadmap menargetkan penanaman lima juta bibit, tambahan 50 ribu hektare rehabilitasi, dan penyelenggaraan Festival Perhutanan Sosial Sulawesi Tengah.

Puncaknya, pada 2028-2029, dirancang pembentukan 10 klaster ekonomi hijau, pembukaan akses pasar ekspor, sekaligus kontribusi nyata terhadap target NDC berupa penurunan deforestasi 20 persen dan penyerapan karbon setara 300 ribu ton CO2e.

Muhammad Neng menjelaskan, roadmap atau peta jalan ini juga menekankan pentingnya transformasi dalam tiga aspek utama: kelembagaan, tata kelola, dan ekonomi.

Dari sisi kelembagaan, kelompok tani diarahkan menjadi koperasi yang kuat dan fungsional dengan ruang kepemimpinan perempuan yang lebih besar.

Dari tata kelola, peran Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PS) diposisikan sebagai tulang punggung, dengan integrasi lintas sektor dan pemantauan berbasis data.

Sementara dari sisi ekonomi, fokus diarahkan pada perubahan dari usaha subsisten menuju usaha produktif, inklusif, dan berkelanjutan, dengan dukungan e-commerce, pameran, hingga kemitraan swasta.

PERAN AKTOR DALAM PENDAMPINGAN

Kerja besar ini, kata Kadishut Muhammad Neng, tentu tidak mungkin berjalan sendiri. Sejumlah organisasi ikut turun tangan memberi pendampingan, mulai dari Yayasan KOMIU yang memetakan potensi rotan, Karsa Institute dengan pelatihan kopi dan kerajinan rotan, hingga Relawan Orang dan Hutan (ROA) yang menyusun rencana kerja jangka panjang.