Oleh: Ruslan Sangadji – Inspirasi dari Sirah Nabawiyah oleh Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri

MALAM ITU bukan malam biasa. Bulan menggantung di langit Makkah dengan cahaya yang lembut, seolah ia sedang menunduk menyaksikan peristiwa agung. Bintang-bintang menari di hamparan langit, bersinar lebih terang dari biasanya, seperti lentera yang menuntun dunia pada harapan baru. Angin padang pasir berhembus tenang, seakan sedang melantunkan doa-doa rahasia.

Di tengah keheningan itu, bumi bergetar halus, bukan karena gempa, melainkan karena sukacita yang tidak mampu ia bendung. Bukit-bukit di sekitar Makkah bersenandung dalam diamnya, bebatuan bersujud dengan cara yang hanya mereka pahami, dan pepohonan menunduk penuh hormat. Alam semesta bersiap menyambut sang cahaya.

Lalu lahirlah beliau, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Tangis pertamanya memecah malam, namun itu bukan tangisan biasa. Itu adalah seruan langit kepada bumi: bahwa rahmat telah tiba, bahwa kasih sayang Allah kini berjalan dengan kaki manusia.

Dalam tangisan bayi itu, dunia mendengar gema janji lama, janji para nabi terdahulu, dari Adam hingga Isa, bahwa penutup risalah telah datang.

Rumah kecil Āminah binti Wahb dipenuhi cahaya. Dikisahkan sinar itu menjalar, menembus kegelapan, hingga tampak istana-istana di Syam. Api-api pemujaan Persia padam, seakan kalah oleh cahaya yang lebih agung.

Langit-langit istana Kisra retak, tanda runtuhnya keangkuhan penguasa yang bermegah dalam dunia fana. Air dan api, langit dan bumi, semuanya mengabarkan satu hal: dunia telah melahirkan cahaya penuntun.

Abdul Muththallib, kakek yang bijaksana, mendekap cucu kecilnya dengan penuh cinta. Ia membawa bayi itu ke Ka‘bah, mengelilinginya dengan doa. Di hadapan rumah suci, ia menamai sang bayi Muhammad (yang terpuji). Nama yang belum pernah ada di antara kabilah-kabilah Arab, nama yang kelak bergema di azan, di salat, di lidah setiap hamba yang bersaksi. Nama yang kelak tak pernah putus disebut hingga hari kiamat.

Di langit, malaikat-malaikat turun bagaikan kafilah cahaya. Jibril mengabarkan kabar gembira kepada seluruh penghuni langit: telah lahir kekasih Allah, pemimpin para nabi, cahaya yang akan menyinari alam semesta.

Burung-burung berkicau riang, angin membawa harum yang tak biasa, dan bahkan hati orang-orang saleh di negeri jauh merasakan getar kebahagiaan yang belum mereka pahami.

Sesungguhnya, kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bukan sekadar hadirnya seorang manusia. Itu adalah fajar yang memecah kegelapan. Itu adalah musim semi yang menumbuhkan bunga di hati yang kering. Itu adalah mata air jernih yang menghapus dahaga jiwa yang lama terpenjara.

Maka, ketika umat Islam merayakan maulid, mereka bukan sekadar mengenang sebuah peristiwa sejarah. Mereka sedang menyiramkan kembali cahaya itu ke dalam dada mereka.

Mereka sedang menyalakan pelita cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka sedang berkata dalam hati: Wahai Nabiullah Muhammad, kami mencintaimu, kami merindukanmu, kami ingin meniti jejakmu.

Dan kelahiran itu tetap hidup, tidak hanya dalam kisah, tetapi dalam cahaya iman yang memandu langkah. Sebab beliau adalah rahmat yang tak lekang waktu, kasih yang tak bertepi, dan cahaya yang tak pernah padam.

Begitulah malam maulid: bukan sekadar malam kelahiran, tetapi malam ketika seluruh semesta bersujud dalam syukur, menyambut datangnya cahaya yang akan menuntun dunia.

Allahumma Shalli ‘Ala Saiyidina Muhammad