- Masjid Muhammadiyah di Watulimo, Trenggalek (Jawa Timur). Dua masjid wakaf Muhammadiyah di daerah ini kini dikendalikan kelompok Salafi. Jamaah setempat, yang lemah dalam kesadaran organisasi, pelan-pelan diarahkan mengikuti ideologi mereka. Bahkan, ada upaya merebut sertifikat tanah wakaf.
- Inventarisasi Muhammadiyah Jawa Timur. Majelis Tabligh Muhammadiyah mencatat ada sejumlah masjid dan musala persyarikatan yang sudah “terpapar” Salafi. Prosesnya lewat penguasaan takmir dan dominasi kajian di ruang dakwah.
- Masjid-masjid pemerintah. Penelitian menyebutkan, ada aktivis Salafi/Wahabi yang masuk ke Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di kantor-kantor pemerintahan. Dengan cara ini, mereka bisa mengubah corak dakwah dan ibadah di masjid negara.
- Masjid NU di Makassar. Sejumlah tokoh NU menyebutkan, ada masjid yang semula dibangun dan diramaikan oleh warga NU, kini tradisinya hilang digantikan corak Salafi-Wahabi.
- Mushalla di Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah. Di Palu, sebuah mushalla di kantor Dinas Kehutanan kini dikuasai oleh kelompok Salafi. Pegawai yang sebelumnya terbiasa dengan suasana ibadah inklusif dan tradisi doa berjamaah, perlahan kehilangan ruang.
Kajian rutin yang diadakan mulai menyingkirkan praktik tahlilan dan doa selamatan. Padahal mushalla itu didirikan untuk seluruh pegawai, kini lebih condong eksklusif.
Di lingkungan kampus, persoalan infiltrasi paham Salafi dan HTI juga kerap muncul ke permukaan. Salah satu kasus yang sempat ramai adalah ketika di Universitas Gadjah Mada (UGM) muncul nama juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, dalam daftar penceramah Ramadhan di Masjid Kampus UGM.
Kehadiran tokoh yang lekat dengan organisasi terlarang itu memicu polemik, hingga akhirnya pihak universitas membatalkan undangan tersebut dan mengganti dengan penceramah lain.
Langkah itu diambil untuk meredam keresahan dan mencegah kampus menjadi ruang penyebaran ideologi transnasional.
Situasi serupa juga terjadi di Universitas Indonesia (UI), khususnya di Masjid Ukhuwah Islamiyah. Beberapa alumni dan mantan aktivis dakwah menyebutkan, masjid kebanggaan mahasiswa UI itu kini kian sepi dari aktivitas keagamaan mahasiswa.
Kajian reguler yang dulu ramai mulai berkurang, akses ke pengurus masjid menjadi lebih terbatas, bahkan sejumlah kelompok mahasiswa merasa kesulitan mendapatkan ruang dakwah.
Muncul dugaan adanya “sterilisasi” aktivitas, di mana ruang-ruang keagamaan mahasiswa yang dahulu cair kini menjadi lebih terkunci.
Di Yogyakarta, geliat dakwah Salafi juga tampak jelas di sekitar kampus-kampus besar seperti UNY dan UGM. Melalui masjid-masjid sekitar kampus, kelompok Salafi menawarkan gagasan “pemurnian Islam” yang tampak sederhana, namun perlahan mampu menarik minat mahasiswa.
Tidak sedikit mahasiswa yang sebelumnya apatis terhadap kegiatan keagamaan, akhirnya ikut dalam lingkaran dakwah Salafi. Dengan cara ini, kampus menjadi ladang subur penyemaian ideologi yang keras dan tekstual.
Menyadari ancaman ini, pimpinan UGM menegaskan komitmennya untuk menangkal paham ekstrem di lingkungan kampus. Rektor UGM bahkan menyatakan bahwa dosen-dosen akan dilibatkan secara aktif dalam mendampingi kegiatan keagamaan mahasiswa.
Tujuannya jelas: agar kajian, materi, maupun penceramah yang hadir tetap dalam koridor moderasi dan tidak dimanfaatkan untuk menyusupkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Meski demikian, penting dicatat bahwa tidak semua laporan terkait masjid kampus benar-benar menunjukkan adanya “pengambilalihan” struktural. Banyak klaim masih bersifat indikatif, berupa dugaan pengaruh dakwah, pilihan penceramah, atau kebijakan internal pengurus yang dianggap condong ke arah tertentu.
Bahkan, sejumlah pihak kampus justru menyangkal tuduhan itu. Masjid Ukhuwah Islamiyah UI, misalnya, pernah menegaskan bahwa seluruh aktivitasnya berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tetap berpijak pada Pancasila, serta berkomitmen menjaga nilai-nilai moderasi dalam beragama.
Narasi yang beredar di masyarakat kampus inilah, yang menunjukkan bahwa infiltrasi ideologi transnasional seperti Salafi dan HTI memang nyata dirasakan, meski bentuknya berbeda-beda: ada yang terang-terangan melalui figur penceramah, ada yang lebih halus lewat kajian mahasiswa, ada pula yang sekadar memunculkan kesan eksklusivitas dalam ruang dakwah.
Semua ini mengingatkan kita bahwa kampus—sebagai pusat pembentukan intelektual bangsa — tidak pernah steril dari tarik-menarik ideologi, dan perlu terus dijaga agar tetap menjadi ruang tumbuhnya Islam yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin.
ANCAMAN BAGI PERSATUAN UMAT
Kasus-kasus itu membuktikan, strategi “menguasai rumah orang” yang dijalankan Salafi bukan isapan jempol. Mereka jarang membangun masjid baru, tetapi lebih sering menguasai infrastruktur yang sudah ada, dari masjid kampung hingga mushala kantor pemerintah.

Tinggalkan Balasan