Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

HASAN NASBI tak pernah benar-benar asing dari dinamika politik. Sebagai Kepala Kantor Komunikasi Presiden atau Presidential Communication Office (PCO), ia menjadi corong utama pesan-pesan istana. Namun sejak awal 2025, posisinya kerap diguncang polemik, terutama setelah pernyataannya soal teror kepala babi ke kantor redaksi Tempo menuai kritikan hingga desakan mundur dari berbagai pihak.

Pada 21 April 2025, Hasan menandatangani surat pengunduran diri. Ia menitipkannya melalui dua pejabat terdekat Presiden, yakni Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. “Sepertinya saat itu sudah tiba,” katanya dalam sebuah video yang diunggah kanal Total Politik, 29 April 2025.

Namun langkah itu tak serta merta membuatnya lengser. Presiden Prabowo Subianto kala itu menolak pengunduran diri Hasan. Ia masih dipercaya untuk melanjutkan tugas, seolah diberi kesempatan kedua untuk tetap mengawal komunikasi pemerintahan.

Kesempatan itu akhirnya terhenti pada reshuffle kabinet ketiga. Nama Hasan Nasbi tidak lagi dipertahankan. Posisinya sebagai Kepala Komunikasi Presiden resmi digantikan oleh Angga Raka Prabowo. Pergantian ini menutup satu bab perjalanan Hasan di lingkar inti istana — dari surat mundur yang sempat ditahan, hingga akhirnya dilepas oleh putaran politik.

KESELEO LIDAH

Saya mengenal gaya komunikasi Hasan sejak masa Pilpres 2024. Saat itu ia tampil sebagai juru bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Hasan fasih berbicara, runut dalam menyusun kalimat, dan cerdas dalam mengemas gagasan.

Ia tampak percaya diri berdiri di depan publik, membela posisi politik yang diwakilinya. Dari situ saya paham, mengapa kemudian Presiden mempercayainya memimpin Kantor Komunikasi Presiden.

Saya mengenal Hasan juga sebagai sesama kader HMI, meski ia tentu tidak mengenal saya secara pribadi. Tetapi sebagai kader, saya bisa merasakan irama khasnya: tenang, sistematis, namun tetap menyengat bila diperlukan.

Ia memang memiliki kemampuan public speaking yang kuat. Tetapi sehebat-hebatnya seorang komunikator, keseleo lidah bisa menjadi titik rawan.

Dan itulah yang terjadi. Pernyataannya soal teror kepala babi ke kantor redaksi Tempo, membuat sorotan publik mengarah tajam kepadanya.

Desakan agar ia mundur pun bermunculan. Hasan merespons dengan sikap ksatria: ia menandatangani surat pengunduran diri, menyatakan waktunya sudah tiba. Presiden sempat menahannya, tetapi akhirnya arus politik bergerak ke arah lain.

Dalam dunia komunikasi politik, Hasan bisa dibilang salah satu figur yang menonjol. Ia bukan sekadar penyampai pesan, melainkan penata narasi. Kalimat-kalimatnya sering terasa tajam, namun tetap tertata. Justru karena kekuatan itu, ketika ia tergelincir dalam ucapan, dampaknya terasa lebih besar dan lebih dalam.

Reshuffle ketiga akhirnya menandai babak baru. Banyak yang menilai, keputusan itu bukan semata soal kesalahan komunikasi, melainkan bagian dari konsolidasi politik yang lebih luas. Istana butuh wajah baru, dan Angga Raka Prabowo dianggap sebagai pilihan tepat untuk melanjutkan estafet komunikasi.

Bagi saya, kisah Hasan adalah cermin rapuhnya komunikasi politik. Setiap kata bisa menjadi senjata, sekaligus bumerang. Ia meninggalkan istana dengan jejak yang khas: gaya komunikasinya yang runut, jelas, dan cerdas — meski pada akhirnya keseleo lidah pula yang menyeretnya keluar dari panggung utama.

Saya menyaksikan kiprahnya di TKN Prabowo-Gibran, sementara saya sendiri berada di TKD Prabowo-Gibran Sulawesi Tengah. Dari jauh saya mengikuti perannya, dan kini saya melihat bagaimana satu bab penting dalam perjalanan politik Hasan resmi ditutup.

Dan mungkin, di situlah letak nilai seorang Hasan Nasbi: ia bisa jatuh karena kata-katanya, tetapi ia juga akan bangkit kembali dengan kekuatan yang sama — karena di dunia politik, kata selalu punya tempat untuk kembali hidup, dan tentunya saya akan tetap merindukan gaya bicara yang menjadi ciri khasnya. (*)

Wallahu a’lam