Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

RABU, 17 SEPTEMBER 2025, Istana Negara terasa penuh simbol politik. Presiden Prabowo Subianto melantik M. Qodari sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), menggantikan AM Putranto. Keputusan ini tertuang dalam Keppres Nomor 97/P Tahun 2025, yang bukan hanya mengatur pergantian Kepala dan Wakil Kepala Staf Kepresidenan, tapi juga penataan posisi penting di lingkaran istana.

Nama Qodari, bagi saya, sebelumnya hanya hadir lewat layar kaca dan halaman media. Saya mengenalnya sebagai sosok yang membangun reputasi dari dunia survei politik. Indo Barometer, lembaga yang ia dirikan, menjadi salah satu potret berkala denyut nadi politik masyarakat Indonesia. Di Pilpres 2024, ia mengambil posisi strategis mendukung pasangan Prabowo-Gibran.

Karier panjangnya terentang dari ruang-ruang riset hingga panggung media: peneliti di ISAI, lalu CSIS, Direktur Riset LSI, Wakil Direktur Eksekutif LSI, hingga Chief Editor majalah Kandidat.

Ia juga tampil sebagai pembawa acara “Negeri Setengah Demokrasi” dan “Suara Rakyat”, membumikan analisis politik ke ruang tamu masyarakat luas. Singkatnya, Qodari bukan sekadar akademisi, tapi pengamat yang mampu menjembatani dunia riset dengan bahasa publik.

Meski lama mengenalnya lewat reputasi, saya baru dua atau tiga kali bertemu langsung dengannya. Itu pun dalam lingkar hijau-hitam, keluarga besar KAHMI. Pertemuan pertama terjadi saat peletakan batu pertama pembangunan kembali KAHMI Center di Jalan Turi, Jakarta.

Kami sempat berfoto bersama. Momen singkat, tanpa olah-olah. Saya sadar, Qodari tentu tidak mengenal saya. Namun sebagai sesama kader (mungkin saya juniornya, karena usia lebih muda dua tahun darinya), ada kebanggaan tersendiri melihat perjalanan panjangnya hingga menjejak kursi Kepala KSP.

Di balik sosoknya yang piawai membaca peta politik, Qodari juga mewakili wajah intelektual yang tumbuh bersama zaman. Generasi yang ditempa oleh dunia kampus, ditempah lagi oleh kerasnya dunia riset, lalu harus membuktikan diri di panggung publik. Tidak semua orang mampu meniti jalan itu dengan konsistensi. Qodari menjadikan pengetahuan sebagai modal, dan komunikasi sebagai senjata.

Di lingkungan KAHMI, figur seperti Qodari menghadirkan teladan baru. Bahwa alumni hijau-hitam bukan hanya bisa berkiprah di jalur akademik atau ormas, tetapi juga bisa menembus lingkar dalam kekuasaan dengan tetap membawa kredibilitas.

Dalam dirinya, KAHMI melihat cerminan: ilmu yang dipelajari tidak hanya berhenti di buku, melainkan menjelma menjadi strategi dan keputusan politik nyata.

Mungkin itulah mengapa pelantikannya terasa lebih bermakna. Bukan hanya karena posisi KSP yang sangat strategis, tetapi karena perjalanan hidupnya mencerminkan kerja keras, konsistensi, dan dedikasi panjang.

Setiap langkah Qodari seolah menyampaikan pesan sederhana: bahwa kesungguhan intelektual, bila dipadukan dengan kecerdasan membaca momentum, bisa mengantarkan seseorang ke puncak peran penting di negara ini.

Pandangan itu juga pernah ia ucapkan saat masih menjabat Wakil KSP. “Kalau saya ibaratkan kabinet ini seperti konvoi lah, berangkatnya bareng, sampainya juga harus bareng,” katanya suatu ketika. Konvoi adalah simbol kebersamaan. Bagi Qodari, mengelola pemerintahan berarti memastikan semua komponen berjalan seirama, bukan saling meninggalkan.

Dan saat dilantik sebagai Kepala KSP, suaranya tegas mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Prabowo:

“Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan setia kepada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta akan menjalankan segala peraturan perundang-undangan, dengan selurus-lurusnya, demi dharma bakti saya kepada bangsa dan negara. Bahwa saya dalam menjalankan tugas jabatan, akan menjunjung tinggi etika jabatan, bekerja dengan sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab.”

Perpaduan antara analogi “konvoi” dan sumpah jabatan itu memperlihatkan arah langkahnya ke depan: ada kesadaran kolektif yang harus dijaga, ada tanggung jawab pribadi yang harus ditunaikan. Qodari bukan hanya hadir untuk mendampingi presiden, melainkan juga memastikan bahwa pemerintahan bergerak bersama menuju cita-cita yang sama.

Dan bagi saya pribadi, menyaksikan Qodari kini resmi menjabat Kepala KSP, seperti menyaksikan layar kaca berubah menjadi nyata. Sosok yang dulu hanya saya kenal lewat media, kini berdiri di pusat kekuasaan negara.

Ia mungkin tak mengenal saya, tetapi saya percaya perjalanan kami sebagai sesama hijau-hitam akan selalu terhubung oleh rasa bangga. Semoga dari ruang istana, Qodari tetap mengingat bahwa kekuasaan sejatinya hanyalah alat untuk mengabdi pada rakyat — dan itulah yang membuat pencapaiannya bukan sekadar karier, melainkan amanah. (*)

Wallahu a’lam