MINERVA TARAN, Ketua Umum Perkumpulan Penyelenggara Jasa Boga Indonesia (PPJI) menilai, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) oleh pemerintah, digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan gizi anak bangsa. Tapi faktanya, di balik jargon manis itu, sistem yang dibangun justru rapuh dan berbahaya.

Sudah ada ribuan korban. Puluhan ribu anak keracunan. Kejadian luar biasa. Lantas, apalagi yang ditunggu sebelum pemerintah sadar bahwa ada yang salah besar?

Ketua Umum Perkumpulan Penyelenggara Jasa Boga (PPJI), Minerva Taran, membuka fakta telanjang tentang pelaksanaan MBG: pemerintah hanya menyewa dapur milik para pengusaha jasa boga, kemudian menugaskan kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi  (SPPG) yang hanya dikursuskan tiga bulan.

“Setelah itu, pemerintah melalui kepala SPPG menyerahkan urusan ribuan porsi makanan ke tangan orang-orang yang tidak berpengalaman di urusan manajemen dapur,” jelas Minerva.

Yang terjadi selama ini, menurut Minerva Taran, bukan pengusaha jasa boga profesional yang dilibatkan, melainkan orang-orang baru yang dipaksa belajar secara instan.

“Ini bukan sekadar salah strategi, ini adalah kecerobohan sistemik,” tegas Ketua Umum PPJI ini.

Banyak Dapur Asal-asalan

Hari ini ada sekitar 8.000 dapur MBG. Beberapa memang milik pengusaha jasa boga. Tapi banyak juga milik orang dekat pemerintah, bahkan milik anggota DPR. Tak sedikit dapur dikelola oleh ibu-ibu setempat (akamsi – anak kampung sini) yang tak pernah sekalipun mengurusi ribuan porsi makanan.

Bayangkan, kata Minerva Taran, ribuan porsi makanan untuk anak sekolah, tapi hanya. Dikerjakan oleh dapur amatiran.

“Ini bukan lagi soal keikhlasan, ini soal kompetensi. Bahkan saya yang sudah 30 tahun mengurus catering, bisa salah kalau tim dapur tidak patuh. Apalagi mereka yang cuma kursus tiga bulan,” ujar Minerva.

Akhirnya, kata dia, MBG yang seharusnya adalalah makanan bergizi gratis, malah menjadi racun gratis, karena ketika makanan basi atau salah olah, yang menjadi korban adalah anak-anak.

“Anak-anak yang seharusnya pulang sekolah dengan perut kenyang dan bergizi, malah pulang dengan muntah, diare, dan trauma. Apa ini namanya program makan bergizi atau racun bergizi?,” tanya pemilik Kiki Catering di Jakarta ini.

Keracunan massal yang ditetapkan sebagai kejadian luar biasa, kata dia, sudah cukup menjadi alarm.

“Tapi apakah pemerintah mendengar? Atau masih sibuk bersembunyi di balik retorika?,” tanya Minerva lagi.
.
Ubah Sistem atau Akui Kegagalan

Minerva tidak hanya mengeritik, tetapi juga memberikan solusi. Menurutnya, ubah sistem sekarang juga atau semakin bertambah korban keracunan akibat MBG.

Pemerintah, kata Minerva,nharus berhenti bersikap sok tahu dalam urusan dapur besar.

“Ini bukan sekadar soal memasak, ini soal manajemen risiko, logistik, keamanan pangan, dan standar gizi. Semua itu hanya bisa dijamin jika pengelolaan melibatkan profesional, ” tegasnya.

Dia menuturkan, dapur MBG wajib bermitra dengan pengusaha jasa boga. Biar parq ahli dan mereka yang expert dalam masalah manajemen dapur dapat membina, mengawasi, dan memastikan bahwa setiap porsi MBG aman dan layak.

“Jangan serahkan nyawa anak-anak ke tangan amatiran yang baru kursus tiga bulan,” tegas Minerva dengan nada tinggi.

Menurutnya, mengelola dapur itu sangat kompleks, karena mulai dari pemilihan bahan baku, pemilihan menu, pengelolaan, hygiene, sanitasi hingga ketepatan waktu.

“Nah, bagaimana mungkin semua ini bisa dilaksanakan oleh kepala SPPG yang cuma ditraining tiga 3 bulan?, ” ucapnya.

Minerva mengatakan, jika pemerintah terus memaksakan sistem ini, maka jangan salahkan siapa pun bila MBG akan dikenang bukan sebagai program penyelamat gizi, tetapi sebagai program bencana nasional yang meracuni anak bangsa.

“Kita di dapur itu kayak mengelola medan perang, jenderalnya harus bisa memberi arahan. Bukan perwira baru yang tidak berpengalaman. Pasti kita kalah perang,” tutup Minerva Taran memberi ibarat.