Oleh: Salihudin M. Awal / Pengamat Pembangunan

TANGGAL 27 SEPTEMBER 2025 menjadi penanda penting: Kota Palu genap berusia empat puluh tujuh tahun. Sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan, luka, harapan, dan kebangkitan. Tema tahun ini, “Bergerak dalam Persatuan”, terasa begitu relevan, mengingat Palu masih menyusun mozaik masa depan pascagempa, tsunami, dan likuefaksi 2018. Di tengah dinamika sosial-ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, peran kepemimpinan duet Wali Kota Hadianto Rasyid dan Wakil Wali Kota Imelda Liliana Muhidin menjadi kunci.

Hadianto Rasyid dikenal sebagai sosok yang kalem, pragmatis, dan berhati-hati dalam menakhodai kota. Ia berupaya menjaga keseimbangan antara pembangunan fisik dan pemulihan sosial.

Namun, sering kali gaya kepemimpinan yang cenderung tenang ini membutuhkan pasangan yang lebih berani melompat keluar dari pola. Di sinilah energi Imelda Liliana Muhidin memberi warna.

Imelda bukan sekadar pelengkap seremonial. Ia tampil sebagai sosok energik, bersemangat, dan kerap menjadi juru bicara yang persuasif di hadapan masyarakat maupun pemerintah pusat.

Dengan latar belakang sebagai putri dari politisi senior yang berjejaring luas di tingkat nasional, Imelda memanfaatkan betul modal sosial-politik tersebut. Jaringan ini bukan hanya simbol, tetapi kanal riil untuk menarik program-program pusat agar menetes ke Palu.

Peran Kritis Wakil Wali Kota

Banyak yang menganggap peran wakil kepala daerah sering hanya figuran. Namun, kasus Imelda menunjukkan hal yang berbeda. Ia aktif turun ke lapangan, mendengarkan aspirasi warga dari lorong-lorong kota hingga forum akademik. Kehadirannya kerap disambut hangat, karena dianggap membawa semangat baru, terutama bagi kelompok perempuan dan generasi muda.

Dalam perspektif teori kepemimpinan partisipatif, efektivitas pemimpin bukan hanya soal posisi formal, melainkan juga kemampuan membangun relasi dan menggerakkan partisipasi. Imelda membuktikan, dengan energi personal dan jejaring politik, ia bisa memecah kebekuan birokrasi yang kerap lamban.

Bergerak dalam Persatuan

“Bergerak dalam Persatuan”, juga menjadi cermin tantangan sosial Kota Palu. Pasca bencana, kota ini masih menghadapi persoalan sosial seperti masalah hunian tetap, layanan dasar yg belum optimal , hingga rendahnya daya saing ekonomi. Persatuan bukan hanya jargon, tetapi prasyarat untuk keluar dari trauma kolektif menuju transformasi.

Duet Hadianto–Imelda mencoba mengatasi kekurangan itu. Hadianto dengan ketenangannya menjaga konsolidasi internal birokrasi, sementara Imelda dengan keberaniannya membuka ruang dialog lintas sektor.

Dalam teori modal sosial (Putnam, 1993) keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh keterhubungan antar-aktor sosial. Imelda seakan menjadi “jembatan” yang mempertemukan pemerintah, swasta, komunitas lokal, dan jaringan nasional.


Meski demikian, kepemimpinan duet ini tidak lepas dari kritik. Beberapa program unggulan sering berjalan lambat karena tidak siapnya birokrasi dan dukungan masyarakat yang minim. Ada pula kritik bahwa Palu belum cukup agresif menarik investasi besar untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

Namun, publik juga melihat upaya Imelda untuk menambal kelemahan itu, dengan memainkan perannya di tingkat nasional. Ia rajin melakukan komunikasi dengan kementerian, lembaga, hingga jaringan politik partai untuk memperjuangkan alokasi program bagi Palu.

Pertanyaannya: apakah energi Imelda cukup untuk mengimbangi keterbatasan birokrasi kota? Inilah tantangan ke depan. Di sinilah narasi persatuan diuji, karena tanpa dukungan lintas elemen, energi individu tak akan cukup menembus dinding struktural.

Sebagai putri dari politisi senior, Imelda tidak sekadar mewarisi nama besar, tetapi juga jaringan politik yang terbukti menjadi modal pembangunan. Literatur ilmu politik menyebut hal ini sebagai political capital—modal yang bersumber dari reputasi, relasi, dan jejaring kekuasaan (Bourdieu, 1986). Modal ini, bila dimanfaatkan untuk kepentingan publik, dapat mempercepat proses pembangunan yang seringkali terkendala prosedur birokrasi.

Dalam kasus Palu, kita bisa melihat bagaimana bantuan pusat, dukungan program kementerian, hingga peluang kolaborasi dengan lembaga internasional yang dibangun Hadianto Rasyid dapat masuk lebih cepat berkat kerjasama duet ini.


Di usia empat puluh tujuh tahun, Palu bukan lagi kota kecil yang hanya dikenal karena bencananya. Kota ini adalah ruang hidup yang sedang menata kembali potensi besarnya. Duet Hadianto–Imelda memberi wajah ganda: keseimbangan dan energi.

Kritik memang perlu terus digaungkan agar pembangunan tidak terjebak dalam rutinitas birokrasi. Tetapi, apresiasi juga layak diberikan, terutama pada sosok wakil wali kota yang membuktikan dirinya bukan sekadar bayangan, melainkan motor penggerak dengan semangat tak pernah padam.

Ulang tahun kali ini mengingatkan kita, bahwa persatuan adalah jalan panjang yang harus ditempuh tanpa kehabisan energi. Dan di jalan panjang itu, kepemimpinan yang berani, energik, dan berjejaring seperti yang ditunjukkan Imelda Liliana Muhidin, akan menjadi kunci Palu menuju masa depan yang lebih tangguh dan maju.

Wallahu a’lam