Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

PALU, IBU KOTA PROVINSI SULAWESI TENGAH, kota yang hari ini genap berusia 47 tahun, adalah rumah yang membentuk saya, tempat di mana jejak hidup dan cerita saya berakar. Bagi banyak orang, Palu mungkin hanya sebuah kota di pesisir Sulawesi. Namun bagi saya, ia adalah ruang kehidupan yang menempa, melukai, sekaligus menyembuhkan.

Saya tiba di kota ini, sebagai anak rantau dengan doa orang tua yang menitipkan saya pada seorang tokoh, Sagaf Pettalongi — yang kelak dikenal sebagai Rektor UIN Datokarama Palu.

Pesan orang tua sederhana: “Sekolahkan dia di Pondok Pesantren Alkhairaat.” Dari sana, saya mulai mengenal ilmu, nilai, hingga dunia aktivisme yang perlahan mengisi ruang muda saya.

Kala itu, Palu masih sederhana. Jalan-jalan lengang, angkot masih menjadi alat transportasi utama, hutan masih mendekap sudut-sudut kota, dan tatanan perkotaan belum teratur. Tapi justru di kesederhanaan itu saya belajar arti kebersahajaan: bagaimana sebuah kota tumbuh perlahan bersama warganya.

Namun, Palu juga mengajarkan saya tentang luka terdalam. Saya masih mengingat hari ketika bumi berguncang, laut bangkit, dan tanah berubah menjadi lumpur yang menelan apa saja di atasnya. Gempa, tsunami, dan likuefaksi 28 September 2018, meruntuhkan kota dan menorehkan duka yang tak terbayangkan. Dunia menoleh pada kota ini, menyaksikan betapa dahsyatnya bencana itu. Data menyebutkan, sebanyak 3.837 orang menjadi korban.

Meski begitu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah ini tidak menyerah. Dari puing dan air mata, ia bangkit. Dari tanah yang koyak, ia berdiri kembali. Sedikit demi sedikit, wajah kota berubah. Dari porak-poranda menjadi lebih indah, lebih teratur, lebih penuh semangat baru. Setiap jalan yang diperbaiki, setiap bangunan yang berdiri kembali, adalah saksi keteguhan hati Palu dan warganya.

Kebangkitan Palu tidak hanya tampak dari bangunan fisik yang kembali berdiri, tetapi juga dari jiwa-jiwa warganya. Mereka yang kehilangan keluarga, rumah, dan mata pencaharian, justru bangkit dengan semangat yang lebih besar untuk menata hidup. Dari pengalaman bencana, saya belajar bahwa kekuatan terbesar tidak datang dari kemapanan, melainkan dari keberanian untuk memulai kembali.

Saya sering berjalan menyusuri pantai Talise, tempat yang dulu menjadi saksi air bah menerjang kota. Kini, pantai itu perlahan kembali ramai, menjadi ruang publik di mana anak-anak bermain, keluarga bercengkerama, dan warga menemukan kedamaian. Di setiap tawa anak-anak itu, saya merasakan denyut kehidupan baru kota yang tak pernah padam.

Palu juga kini tumbuh sebagai kota yang semakin terbuka, menjadi persinggahan orang-orang dari berbagai daerah, bahkan negara.

Di balik sejarah kelamnya, kota ini justru memupuk solidaritas, di mana bantuan dari seluruh penjuru dunia pernah datang untuk menguatkan. Dari situ, Palu mengajarkan saya arti persaudaraan lintas batas: bahwa luka bisa mempertemukan banyak hati dalam kepedulian.

Tidak bisa saya pungkiri, di balik wajah baru Palu, masih ada luka yang belum sembuh sepenuhnya. Masih ada keluarga yang kehilangan tanpa sempat berpamitan, masih ada tanah yang menyimpan duka. Namun justru di situlah letak kekuatan Palu — ia tidak menutupi lukanya, melainkan menjadikannya bagian dari identitas dan perjalanan sejarahnya.

Bagi saya, Palu bukan hanya tempat tinggal. Ia adalah guru kehidupan. Dari kota ini saya belajar arti kehilangan, arti bangkit, dan arti menemukan makna baru setelah runtuh.

Di usia 47 tahun ini, saya percaya Palu akan terus bertumbuh, tidak hanya menjadi kota yang indah secara fisik, tetapi juga kota yang matang secara jiwa. Sebab Palu telah mengajarkan kita semua, bahwa luka bukanlah akhir, melainkan pintu menuju kebangkitan yang lebih bermakna.

Selamat ulang tahun, Palu — kota yang bangkit dari luka, sekaligus rumah yang mengajarkan saya arti keteguhan hati. Sukses buat Wali Kota Palu Hadianto Rasyid dan Wakil Wali Kota Imelda Liliana Muhidin dan warganya yang telah menata kota ini.

Wallahu a’lam