Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

HAMPIR TAK SANGGUP lagi saya menuliskan peristiwa gempa, tsunami dan likuefaksi. Hari itu, Jumat, 28 September 2018, pukul 18.02 Wita, bumi di bawah kaki kami meraung. Kota Palu diguncang gempa berkekuatan Magnitudo 7,4. Dalam hitungan detik, dinding runtuh, tanah merekah, dan langit petang berubah menjadi jerit ketakutan.

Namun gempa bukanlah satu-satunya malapetaka. Ombak besar tiba-tiba menyapu teluk. Tsunami datang tanpa ampun, menghantam sebagian pesisir kota yang baru saja bersiap menutup penghujung hari. Tidak berhenti di situ, bumi memuntahkan isi perutnya — likuefaksi — menelan rumah, kendaraan, bahkan manusia.

Ribuan jiwa lenyap, ribuan lainnya terluka. Kami yang selamat hanya bisa berdiri di antara puing-puing, tubuh gemetar, mata kosong, tak percaya bahwa kehidupan bisa hancur secepat itu.

Saya menyaksikan tubuh-tubuh tak bernyawa terbujur di jalanan yang pecah. Saya mendengar jeritan orang-orang terluka, menjerit meminta pertolongan yang tak kunjung datang. Dan di tengah semua itu, ada ketakutan terbesar seorang ayah: keberadaan anaknya.

Sore itu, saya bersama si bungsu, Lovely Nukila, yang ketika itu masih duduk di TK. Kami berada di dalam mobil, dalam perjalanan menuju rumah di Kalukubula, Sigi. Saat bumi mengguncang, saya tidak panik. Saya tahu, di tengah bencana, kepanikan hanya akan menambah bahaya. Saya berusaha tetap tenang, mengendalikan diri, meski di dalam hati hanya ada satu nama yang terus terucap: Akbar Fawa’id, anak kedua saya.

Firasat hati membawa saya memutar balik mobil untuk mencari Akbar Fawa’id. Kami singgah di rumah temannya, berharap ia ada di sana. Namun, yang saya dapati bukanlah dirinya. Keluarga pemilik rumah sedang berada di luar, mereka selamat dari guncangan. Dengan wajah cemas, mereka berkata bahwa anaknya bersama Akbar saat itu—dan keduanya selamat. Tapi keberadaan mereka belum jelas.

Malam itu, saya tetap tak punya kepastian. Tidak tahu di mana Akbar berada. Hanya berpegang pada kabar samar bahwa ia masih hidup.

Saya dan Lovely akhirnya bergabung dengan puluhan orang lain yang juga kehilangan segalanya. Kami tidur beralaskan tikar plastik seadanya di lapangan mini Radio Nebula, Jalan Rajawali, Palu. Langit malam begitu pekat, udara dipenuhi bau debu dan tanah, suara tangis anak-anak pecah di sekeliling, doa-doa lirih orang tua terdengar di sela keheningan.

Saya berusaha menjaga ketenangan, meski dada saya nyaris meledak karena kepikiran anak kedua saya. Lovely bersandar di bahu saya, matanya sembab karena lelah. Dan saya, dengan segala yang masih tersisa dari jiwa ini, hanya bisa berdoa: “Ya Allah, Engkau pasti melindungi Akbar Fawaid anak saya.”

Sesaat setelah gempa dan tsunami itu, saya sempat memberi kabar ke redaksi The Jakarta Post, media tempat saya bekerja. Saya juga segera menelpon keluarga di Ternate, meyakinkan mereka bahwa saya dan Lovely selamat. Tapi tak lama kemudian, semuanya hilang. Sinyal telepon mati total. Tidak ada lagi komunikasi melalui Telkomsel. Hanya pengguna Mentari (Indosat) yang masih bisa tersambung.

Di lapangan Nebula malam itu, saya meminjam ponsel milik sahabat, Iksani Lasahido, yang menggunakan nomor Indosat. Saya mencoba kembali menghubungi redaksi The Jakarta Post, namun tidak tersambung. Lewat seorang wartawan Aljazeera Indonesia di Jakarta, saya menitipkan pesan: “Saya selamat bersama Lovely. Tapi anak kedua saya, Akbar Fawa’id, masih belum ditemukan.”

Kabar yang sama saya teruskan ke Ternate: saya dan si bungsu selamat, sementara Akbar Fawa’id yang kami memanggilnya Faid masih dalam pencarian. Anak pertama saya, kala itu, sedang kuliah di Malang —ia jauh dari bencana, tetapi gelisah karena berita yang simpang siur.

Jam demi jam berjalan begitu lambat. Setiap menit bagai tusukan di dada. Namun saya terus memaksa diri untuk tetap tenang. Panik tak akan menolong, hanya doa yang bisa saya genggam.

Hingga pukul dua dini hari — delapan jam setelah bumi mengamuk — dalam gelap, debu, dan ketidakpastian, akhirnya saya bertemu dengan Faid.

Ia selamat. Rupanya, saat gempa terjadi, ia berada di Kelurahan Tondo, belajar kelompok bersama teman-temannya di sebuah rumah tepi pantai. Mereka hendak makan malam sebelum belajar, dan tiba-tiba bumi mengguncang.

Gelombang besar datang menghantam. Akbar dan kawan-kawannya berlari sekuat tenaga menuju bukit di atas kampus Universitas Tadulako. Dari ketinggian itu, mereka hanya bisa menyaksikan air hitam melahap daratan—menelan rumah, kendaraan, bahkan manusia.

Saya memeluk Faid erat, tubuh saya gemetar. Air mata yang saya tahan sepanjang malam akhirnya pecah. Syukur bercampur haru, bahagia bercampur pilu. Saya menemukan anak saya dalam keadaan hidup, tapi di balik itu ada rasa bersalah: mengapa saya beruntung, sementara begitu banyak ayah dan ibu lain kehilangan anak-anak mereka untuk selamanya?

Sejak malam itu, Palu tak lagi sama. Kota ini tetap rumah bagi kami, tetapi juga kuburan dari ribuan kenangan yang takkan pernah hilang. Setiap kali tanggal 28 September tiba, luka itu terbuka kembali —seakan bencana itu baru saja terjadi kemarin.

Kini, tujuh tahun sudah berlalu. Namun suara gemuruh bumi itu masih hadir dalam mimpi. Wajah-wajah yang hilang masih muncul di ingatan. Setiap kali melewati kawasan yang ditelan likuefaksi, hati saya serasa terhimpit. Tanah itu kini tenang, tapi seakan masih menyimpan jerit orang-orang yang tak sempat menyelamatkan diri.

Gempa, tsumani dan likuefaksi itu bukan hanya merenggut nyawa dan rumah, tetapi juga mencabut rasa aman dari hati kami. Namun dari reruntuhan itu pula, kami belajar tentang arti ketabahan, kebersamaan, dan kekuatan untuk berdiri kembali. Palu perlahan bangkit, meski luka itu tak pernah bisa dihapus.

Karena sesungguhnya, mengenang 28 September 2018 bukan sekadar mengenang duka. Ia adalah pengingat bahwa hidup ini rapuh, bahwa cinta kepada keluarga dan sesama adalah harta yang paling berharga. Dan bahwa dari setiap runtuh, kita tetap bisa bangkit — meski dengan hati yang telah retak.

Allahummagfirlahu warhamhum wa’afihim wa’fu ‘anhum. Innalillahi wainna ilahi raji’un.

Wallahu a’lam