PALU, KAIDAH.ID – Ketua MUI Kota Palu, KH. Zainal Abidin, mengingatkan, agama dan masyarakat saling membentuk. Jika masyarakat membangun nalar moderat (wasathiyah), maka wajah agama yang muncul adalah wajah damai, penuh cinta, dan kasih sayang.
“Agama tidak bisa dipisahkan dari nalar masyarakat. Keduanya saling memengaruhi,” kata Guru Besar UIN Datokarama Palu ini kepada kaidah.ID, Selasa, 30 September 2025.
Menurutnya, pernyataan ini mengandung pesan penting, bahwa agama tidak hadir di ruang hampa, tetapi selalu berinteraksi dengan lingkungan sosial, budaya, dan sejarah tempatnya berkembang.
Cara masyarakat memahami dan mengamalkan agama, kata Prof. Zainal Abidin, sangat dipengaruhi oleh pengalaman kolektif mereka. Jika masyarakat terbentuk dalam suasana konflik, penindasan, atau kekerasan, maka tafsir keagamaan yang dominan cenderung berpusat pada permusuhan.
Menurutnya, ajaran yang keras sering dikutip, sementara nilai kasih sayang dan perdamaian terabaikan. Akibatnya, agama bisa terlihat sebagai pembenar kekerasan.
Sebaliknya, masyarakat yang hidup dalam harmoni, inklusif, dan damai, akan lebih menonjolkan tafsir keagamaan yang berisi nilai kemanusiaan. Ayat-ayat tentang tolong-menolong, empati, persaudaraan, cinta, dan kasih sayang menjadi rujukan utama.
“Dalam kondisi ini, agama dipandang sebagai sumber inspirasi untuk kebaikan dan kedamaian,” kata Ketua FKUB Provinsi Sulawesi Tengah ini.
Relasi antara agama dan masyarakat memang bukan satu arah. Agama dibutuhkan masyarakat sebagai panduan moral, etika, dan spiritual. Namun agama juga memerlukan masyarakat, agar tetap hidup dan relevan.
“Tanpa masyarakat yang mengamalkan, agama kehilangan makna,” ujarnya.
Karena itu, Prof. Zainal menekankan pentingnya masyarakat menjaga nalar positif dan moderat (wasathiyah).
“Jika masyarakat membangun nalar yang sehat, maka wajah agama yang muncul adalah wajah yang penuh cinta, kasih sayang, damai, dan menebarkan kebaikan,” tandasnya. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan