Beberapa kilometer dari kompleks HCAI, cerobong-cerobong lain menjulang di pabrik PT Risun Wei Shan Indonesia. Di sinilah kokas — bahan bakar padat hasil pengolahan batubara — diproduksi untuk memasok industri baja. Di balik api pembakaran kokas yang tak pernah padam, perusahaan ini juga mengolah sesuatu yang lebih halus: gas sintetis hasil samping, dikenal sebagai coke oven gas (COG).

Bagi banyak industri, gas sisa seperti COG dianggap beban. Tapi di Risun, gas itu justru menjadi sumber energi dan bahan baku baru. “Kami memurnikannya untuk mengambil senyawa-senyawa penting di dalamnya,” kata Eng Han, Wakil Foreman Environmental HSE PT Risun.

Dari proses itu, lahir berbagai produk samping: coal tar, sulfur, amonium sulfat, dan benzena mentah. Sebagian produk dipakai untuk keperluan internal, sebagian lain dijual sebagai bahan setengah jadi untuk industri kimia. “Kalau kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, kami bisa ekspor,” tambah Eng Han.

Pemanfaatan gas buang ini bukan hanya soal efisiensi, tapi juga strategi bisnis baru yang menambah nilai ekonomi dari proses produksi.

Li Jialei, Manajer Emergency Response Management PT Risun, menambahkan bahwa pemurnian COG kini menjadi tulang punggung sistem produksi sirkular di kawasan IMIP. “Setidaknya ada sepuluh perusahaan di sini yang menggunakan gas hasil pemurnian kami,” katanya. “Semuanya saling terhubung, tidak ada energi yang benar-benar hilang.”

Morowali dan Arah Baru Industri Berat

Bila dua dekade lalu nama Morowali identik dengan tambang nikel dan kabut debu, kini daerah ini mulai menampilkan wajah lain. Kawasan IMIP menjelma laboratorium raksasa bagi konsep industri hijau —tempat teknologi produksi diuji, diadaptasi, dan diterapkan dalam skala besar.