Namun keberhasilan dua perusahaan itu bukan tanpa tekanan. Dalam skema global yang menuntut transisi energi bersih, Indonesia menghadapi dilema: bagaimana menjaga pertumbuhan industri logam dasar — sektor strategis penyumbang ekspor dan lapangan kerja — tanpa memperburuk jejak karbon.
Upaya HCAI dan Risun mungkin baru langkah kecil, tapi di tengah industri yang dikenal boros energi dan tinggi polusi, langkah itu terasa signifikan. Keduanya memperlihatkan bahwa sustainability bukan sekadar jargon perusahaan untuk laporan ESG (environmental, social, governance), melainkan strategi produksi yang nyata.
“Konsep recovery ini sebenarnya sederhana,” kata Bayu dari HCAI. “Kalau bisa dimanfaatkan kembali, kenapa dibuang?” Prinsip pragmatis seperti itu, dalam konteks global saat ini, justru menjadi kunci menuju industri berkelanjutan.
Ekonomi Sirkular di Tengah Deru Mesin
Penerapan teknologi pemurnian limbah di dua perusahaan tersebut mencerminkan model ekonomi sirkular yang kini digadang banyak negara: sistem produksi di mana sisa dari satu proses menjadi bahan bagi proses lainnya.
Energi yang keluar dari tungku bisa dipakai untuk menggerakkan instalasi di sebelahnya; gas buang yang dulu dianggap kotor kini menjadi komoditas baru.
Di IMIP, prinsip itu mulai terasa. Pabrik yang dulu berdiri terpisah kini saling terhubung lewat jaringan pipa gas, sistem pendingin bersama, dan pasokan listrik yang diatur dari pusat.
“Kami sedang menuju kawasan industri dengan integrasi penuh,” ujar seorang pejabat lingkungan kawasan IMIP yang enggan disebutkan namanya. “Tujuannya bukan hanya efisiensi, tapi juga mengurangi tekanan pada alam.”
Dalam praktiknya, ekonomi sirkular juga memaksa perusahaan menata ulang cara berpikir. Tidak ada lagi konsep produksi linear — ambil, olah, buang. Yang ada adalah siklus tertutup, bahwa setiap limbah punya kemungkinan hidup kedua. Di tangan para teknisi, gas buang, panas, dan residu kimia bukan lagi musuh, melainkan bahan mentah baru.
Langit yang Belajar Bernapas
Menjelang sore, matahari Morowali tampak buram di balik kabut putih tipis. Dari kejauhan, cerobong-cerobong HCAI dan Risun berdiri seperti penjaga zaman baru industri Indonesia. Tak ada kepulan hitam yang mencolok, tak ada bau menyengat yang menusuk hidung. Yang terdengar hanyalah ritme stabil mesin, seperti napas panjang yang diatur agar tidak membebani paru-paru bumi.
Perlahan, kawasan industri yang dulu dituding mencemari kini sedang belajar untuk bernapas — bukan dengan menutup cerobong, melainkan dengan mengubah cara mengelola apa yang keluar darinya.
Upaya itu tentu belum sempurna. Tantangan pengelolaan limbah padat, konsumsi energi, dan jejak karbon masih besar. Tapi langkah-langkah seperti yang dilakukan HCAI dan Risun memperlihatkan satu hal penting: kesadaran.
Kesadaran bahwa industri bukan hanya tentang menghasilkan barang, tapi juga tentang bagaimana manusia mengelola dampaknya terhadap lingkungan tempat ia berdiri.
Dalam dunia yang dikejar waktu menuju batas ekologisnya, kesadaran semacam itu adalah modal paling berharga. Di Morowali, dua pabrik telah membuktikan bahwa efisiensi dan keberlanjutan bisa berdiri dalam satu tungku yang sama.
Dan dari cerobong mereka, asap yang dulu dianggap lambang polusi kini berubah makna — menjadi tanda bahwa industri Indonesia sedang belajar bernapas lebih bersih. (*)
Editor: Ruslan Sangadji

Tinggalkan Balasan