JAKARTA, KAIDAH.ID – Pemerintah Indonesia tengah mengusulkan suatu instrumen hukum internasional mengenai pengelolaan royalti, melalui World Intellectual Property Organization (WIPO). Usulan ini diharapkan dapat memajukan ekosistem musik nasional.

Usulan tersebut dikenal sebagai The Indonesian Proposal for a Legally Binding Instrument on the Governance of Copyright Royalty in Digital Environment. Proposal ini merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Hukum (Kemenkum), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kebudayaan, serta Kementerian Ekonomi Kreatif.

Menteri Hukum RI, Supratman Andi Agtas, mengatakan inisiatif hukum internasional ini bertujuan, agar para pencipta dapat memperoleh manfaat ekonomi yang adil dari karya mereka. Ia menilai, tanpa nilai ekonomi yang layak, kreativitas akan sulit tumbuh.

“Inisiasi ini kita dorong untuk kemajuan ekosistem musik. Kalau nilai manfaat ekonomi tidak kita dapatkan, maka kreasi berikutnya tentu tidak bisa kita harapkan,” tutur Supratman dalam pertemuan daring dengan seluruh duta besar dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, Rabu, 15 Oktober 2025.

Menurutnya, proposal ini tidak bertentangan dengan kerangka hukum yang sudah berjalan di negara lain, melainkan mendukung negara-negara anggota WIPO dalam distribusi royalti.

“Saya percaya diri ini akan berhasil. Usulan kita justru menciptakan keadilan, bukan benturan dengan negara besar atau industri yang ada,” kata Supratman.

Ia menambahkan, kesuksesan proposal ini bergantung pada diplomasi multilateral, regional, dan bilateral. Karena itu, Supratman menggalang dukungan para diplomat Indonesia agar dapat memperjuangkan kepentingan nasional di forum internasional.

“Kementerian Hukum menjadi pendobrak. Namun, para diplomat akan berperan besar dalam memperjuangkannya di dunia internasional,” ucapnya.

Kepala Badan Strategi Kebijakan, Andry Indrady, menjelaskan ada tiga pilar utama dalam proposal tersebut. Pertama, tata kelola royalti melalui kerangka kerja global WIPO, yang mencakup pengelolaan fonogram dan dokumentasi audiovisual, fasilitasi proses perizinan dan penghimpunan royalti, serta pengawasan distribusi.

Kedua, sistem distribusi royalti berbasis pengguna atau user-centric payment, yang memungkinkan model alternatif pembagian royalti secara proporsional.

Ketiga, penguatan tata kelola lembaga manajemen kolektif melalui standardisasi global yang mengikat secara hukum, sekaligus mendorong pengelolaan royalti lintas negara.

“Proposal Indonesia merupakan langkah awal untuk meretas hambatan struktural dalam rezim kekayaan intelektual global. Ini mendorong kerangka hukum internasional yang adil, transparan, inklusif, dan berkelanjutan,” kata Andry.

Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, menyatakan dukungan penuh bagi proposal tersebut. Menurutnya, Kementerian Luar Negeri siap mendukung strategi diplomasi agar usulan Indonesia dapat diterima.

“Kami siap berada di belakang Kementerian Hukum untuk menyokong dengan segala strategi,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, menegaskan pentingnya reformasi tata kelola royalti, untuk menciptakan keadilan bagi para pencipta dan pelaku industri musik.

“Reformasi ini memastikan pembagian manfaat ekonomi digital secara merata, serta menjamin apresiasi yang berkeadilan bagi para pencipta, pemilik hak, dan pelaku industri musik,” tandas Teuku Riefky. (*)

Editor: Ruslan Sangadji