Oleh: Ruslan Sangadji / Pemerhati LMKN

Saya membaca berita di sejumlah media, para pencipta lagu seperti Ari Bias, Ryan Kyoto, Ali Akbar, Obbie Messakh, Eko Saky, dan sejumlah nama lainnya, baru-baru ini menyatakan akan menggugat Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkum Nomor 27 Tahun 2025 ke Mahkamah Agung. Gugatan itu, menurut mereka, dilatarbelakangi oleh penilaian bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) telah melenceng dari amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Namun, di balik gelombang kekecewaan tersebut, saya melihat ada hal penting yang seolah terlupakan: LMKN justru hadir untuk menyelamatkan para pencipta lagu dari ketidakadilan yang selama ini mereka alami. Sebelum ada LMKN, pengelolaan royalti berjalan tanpa standar yang jelas, penuh tumpang tindih, bahkan sering kali tidak transparan. Banyak pencipta lagu tidak tahu berapa hak mereka, siapa yang menggunakan karya mereka, dan ke mana uang hasil royalti itu sesungguhnya mengalir.

LMKN hadir bukan untuk mengambil alih, tetapi untuk menata dan mengatur agar sistem penarikan dan distribusi royalti berjalan lebih transparan, akuntabel, dan adil. Saya selalu mengibaratkan LMKN itu seperti samudera luas yang menampung seluruh aliran anak sungai , yaitu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), agar semuanya bermuara dalam satu ekosistem yang terukur dan terawasi.

Bayangkan jika setiap LMK berjalan dengan mekanismenya sendiri tanpa koordinasi nasional. Kekacauan pasti tak terhindarkan. Justru dengan adanya LMKN, semua LMK memiliki pedoman bersama, laporan yang bisa diaudit, serta mekanisme pertanggungjawaban yang jelas kepada para pencipta lagu.

Menggugat regulasi yang menjadi dasar keberadaan LMKN, bagi saya, sama halnya dengan menggugat sistem yang sebenarnya dibangun untuk melindungi kepentingan para pencipta itu sendiri. Bukan berarti kritik tidak boleh disampaikan — tentu saja sangat boleh, bahkan penting. Tapi kritik itu seharusnya diarahkan untuk memperbaiki sistem, bukan membongkarnya.

Kalau ada hal yang belum sempurna, LMKN siap diajak berdialog. Ada ruang untuk musyawarah, untuk mendengarkan masukan, dan mencari jalan tengah. Karena pada akhirnya, kita semua memiliki tujuan yang sama: memastikan para pencipta lagu mendapatkan hak mereka secara layak, transparan, dan bermartabat.

Bagi saya, LMKN bukan musuh para pencipta maupun pemilik hak terkait lainnya. LMKN adalah wadah yang menjaga keseimbangan di tengah derasnya arus industri musik digital. Di samudera besar bernama LMKN inilah, anak-anak sungai bernama LMK bisa mengalir bersama, membawa manfaat sebesar-besarnya bagi mereka yang melahirkan karya dari hati dan pikiran.

Saya melihat LMKN juga berperan sebagai jembatan antara dunia kreatif dan dunia industri. Di satu sisi, LMKN memahami para pencipta lagu sebagai seniman yang bekerja dengan rasa dan kepekaan. Di sisi lain, LMKN juga sadar bahwa karya seni kini hidup di dalam sistem ekonomi yang kompleks, di mana setiap pemutaran lagu, baik di warung kopi, hotel, konser, atau platform digital, memiliki nilai ekonomi yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Di titik inilah LMKN menyeimbangkan antara keindahan dan keadilan.

Mungkin banyak yang belum memahami, bahwa penarikan dan distribusi royalti bukan hal sederhana. Ada jutaan lagu, ribuan pengguna, dan miliaran data pemutaran yang harus diverifikasi. Tanpa lembaga nasional seperti LMKN, data itu akan tercerai-berai dan para pencipta hanya akan menerima sisa kecil dari hak mereka. Di era digital yang serba cepat ini, sistem yang kuat dan terpusat bukan hanya penting, tapi mutlak diperlukan agar para pencipta bisa tetap hidup dari karya yang mereka hasilkan.

Saya setuju, LMKN harus terus membuka diri terhadap kritik dan pengawasan publik. Tapi yang juga penting adalah menjaga agar kritik itu tidak berubah menjadi upaya pelemahan institusi yang sejatinya dibentuk untuk kepentingan bersama. Jangan sampai karena perbedaan pandangan, sistem yang sedang kita bangun dengan susah payah justru hancur dan membawa kita kembali ke masa lalu yang penuh kekacauan.

Sudah saatnya para pencipta lagu dan LMKN duduk bersama, berbicara dari hati ke hati. Musyawarah adalah jalan kebudayaan kita, dan musik adalah bahasa yang seharusnya mempersatukan, bukan memecah. Jika semua pihak berangkat dari niat tulus untuk menegakkan keadilan dan menjaga karya, maka saya yakin semua persoalan bisa diselesaikan tanpa perlu saling menyalahkan.

Sepanjang pengetahuan saya, saat ini LMKN telah terus berbenah. Transparansi, profesionalisme, dan kecepatan layanan sudah ditingkatkan. Saya memberi contoh, beberapa media menulis: LMKN Meluncurkan Sistem Pembayaran Royalti Digital. Sistem itu bernama Inspiration. Ini yang sebetulnya LMKN sedang menjaga harmoni agar bisa soal royalti bisa tertata dengan baik.

Tetapi, dari diskusi-diskusi saya dengan komisioner LMKN, perjalanan menjaga harmoni ini bukan tanpa rintangan. Dunia digital membawa anugerah sekaligus tantangan. Lagu-lagu kini mengalir bebas tanpa batas, berpindah dari satu server ke server lain, dari satu benua ke benua lain. Satu lagu bisa didengarkan jutaan kali tanpa si pencipta tahu di mana dan oleh siapa. Dalam arus deras itu, LMKN berusaha menjadi jangkar yang memastikan bahwa hak cipta tetap berakar, tidak hanyut dalam samudra digital. Maka dengan sistem digital monitoring, LMKN mencoba menelusuri setiap pemutaran, memastikan setiap karya yang diputar meninggalkan jejak penghargaan bagi penciptanya.

Namun di sisi lain, para pencipta lagu juga perlu membuka diri terhadap sistem tata kelola modern yang lebih akuntabel. Hanya dengan kerja sama dan saling percaya, industri musik Indonesia bisa tumbuh kokoh dan bermartabat, menjadi rumah besar bagi para pencipta, pelaku, dan penikmat musik di seluruh negeri. Semoga!. (*)