Oleh: M. Akbar Supratman / Wakil Ketua MPR RI
SETIAP KALI di bulan Oktober, kita kembali diingatkan pada satu momen sakral dalam sejarah: Sumpah Pemuda. Semacam bai’at yang diikrarkan oleh para pemuda dari berbagai daerah, dengan latar belakang berbeda, namun menyatu dalam semangat yang sama, semangat untuk menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat. Sumpah Pemuda bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga fondasi moral yang meneguhkan identitas kita sebagai Satu Bangsa, Satu Tanah Air, dan Satu Bahasa, Indonesia.
Saya sering membayangkan suasana di Kongres Pemuda Kedua tahun 1928 itu. Saat itu masih suasana penjajahan. Dan orang bicara tentang Indonesia saja, pasti sangat berbahaya. Namun mereka, Jong Java, Jong Maluku, Jong Celebes, Jong Sumatra, justru berani membusungkan dada dan melangkah maju. Dan sikap itu bukan mimpi tentang kemerdekaan, tetapi juga merumuskan dasar bagi persatuan nasional. Dari tekad merekalah lahir semangat kebangsaan yang menjadi nafas perjuangan menuju Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sekarang, hampir satu abad berlalu sejak Sumpah Pemuda diikrarkan. Tantangan yang kita hadapi tentu berbeda, namun esensinya sama: menjaga persatuan dalam keberagaman. Kalau dulu, ancaman datang dari penjajah dengan politik devide et impera. Hari ini, ancaman itu bisa datang dari dalam diri kita sendiri, yaitu dari sikap acuh, intoleransi, ujaran kebencian, dan polarisasi di dunia maya. Jika dulu para pemuda berjuang dengan bambu runcing, maka hari ini perjuangan itu harus dilakukan dengan gagasan, etika digital, dan semangat persatuan.
Sebagai Wakil Ketua MPR, saya melihat bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Pemuda sejalan dengan semangat Empat Pilar MPR: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Semuanya bermuara pada satu tujuan: menjaga keutuhan bangsa. Tanpa kesadaran akan nilai-nilai itu, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata akan kehilangan maknanya.
Pemuda hari ini adalah pewaris cita-cita itu. Mereka hidup di era global yang penuh peluang, tetapi juga penuh ujian. Dunia digital membuka ruang tanpa batas, namun di saat yang sama bisa menjerumuskan kita pada budaya instan dan kehilangan jati diri. Karena itu, saya selalu menekankan pentingnya menyeimbangkan kecerdasan digital dengan kecerdasan moral. Pemuda harus menjadi penggerak perubahan yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa, bukan sekadar pengikut arus zaman.
Sumpah Pemuda juga mengajarkan kita tentang keberanian untuk melampaui sekat-sekat identitas. Di tengah perbedaan agama, suku, bahasa, dan pandangan politik, para pemuda 1928 sudah beri contoh nyata, jalan persaudaraan. Mereka para Jong itu paham, bahwa kemajuan bangsa tidak akan lahir dari perselisihan an perbedaan pendapat yang menahun, tetapi dari kerja sama. Inilah semangat yang perlu kita rawat dalam kehidupan berbangsa hari ini.
Kita juga tidak boleh melupakan peran Bahasa Indonesia yang menjadi perekat nasional. Bahasa ini lahir dari tekad untuk memiliki alat komunikasi bersama, yang menyatukan puluhan bahasa daerah. Maka, setiap kali kita berbicara, menulis, dan berpikir dalam bahasa Indonesia, sebetulnya kita sedang meneruskan cita-cita Sumpah Pemuda. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, namun simbol kesetaraan dan persaudaraan bangsa.
Tentu, menjaga semangat Sumpah Pemuda bukan hanya menjadi tugas pemuda saja. Pemerintah, lembaga negara, tokoh masyarakat, dan seluruh elemen bangsa juga memikul tanggung jawab yang sama. Kita semua harus menjadi teladan dalam menegakkan nilai persatuan dan menghargai perbedaan.
MPR sebagai rumah kebangsaan terus berkomitmen memperkuat wawasan kebangsaan melalui sosialisasi Empat Pilar agar generasi muda memahami arah dan tujuan besar bangsa ini.
Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah semangat Sumpah Pemuda masih hidup di hati kita? Apakah kita masih bangga menyebut diri sebagai orang Indonesia, dengan segala keberagaman yang melekat di dalamnya?
Jawaban atas pertanyaan itu tidak diukur, dari seberapa fasih kita menghafal isi teks Sumpah Pemuda, tetapi sejauh mana kita mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
Mari kita jaga api Sumpah Pemuda agar tidak padam di tangan kita. Api itu harus terus menyala dalam pendidikan, dalam teknologi, dalam politik, dan dalam keseharian kita sebagai warga negara. Karena Indonesia tidak dibangun oleh keseragaman, melainkan oleh keberanian untuk bersatu dalam perbedaan.
Indonesia bersatu bukan karena kita sama, tetapi karena kita bersepakat untuk tetap bersama. Seperti para pemuda yang pada 28 Oktober 1928 berani bermimpi, berani bersumpah, dan berani menyatukan bangsa ini di bawah satu nama: Indonesia. (*)
Editor: Ruslan Sangadji

Tinggalkan Balasan