PALU, KAIDAH.ID – Kasus mafia tanah di Indonesia kembali menampar rasa keadilan. Bukan hanya menyerobot lahan rakyat kecil, tetapi kini para korban justru digugat oleh korporasi besar.
Praktik kotor ini bukan hal baru. Dari sengketa antara Kalla Group dan Lippo Group di kawasan GMTD, Makassar, hingga ke pelosok daerah seperti Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, wajah hukum masih tampak tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Sengketa lahan antara mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), anak usaha Lippo Group, menjadi contoh gamblang betapa kuatnya cengkeraman mafia tanah di Indonesia. JK menuding adanya rekayasa sertifikat atas lahan seluas 16,4 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar.
Publik di media sosial pun ramai menyoroti kasus itu. Banyak yang bertanya, jika sekelas mantan Wakil Presiden saja bisa dirugikan, bagaimana nasib rakyat kecil yang tak punya kekuatan hukum?
“Sekelas Jusuf Kalla saja bisa diotak-atik, apalagi rakyat kecil,” tulis salah satu warganet di kolom komentar salah satu akun TikTok, yang menayangkan berita kasus tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menilai kasus seperti ini menunjukkan mafia tanah tidak pandang bulu.
“Mafia tanah tidak melihat besar kecilnya orang. Siapapun bisa jadi korban. Kalau orang sekelas JK saja bisa diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan rakyat biasa?” nilainya.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menegaskan bahwa praktik seperti ini merupakan tindak pidana, bukan sekadar sengketa perdata.
“Penyerobotan tanah jelas pidana. Modus mafia tanah sering melibatkan aparat pertanahan dalam penerbitan sertifikat ganda. Masalah pokoknya adalah birokrasi yang rumit, yang justru membuka ruang bagi mereka yang punya akses dan modal besar,” katanya.
Gudang Cat Nippon Paint di Atas Lahan Warga
Kisah serupa kini menimpa Joni Mardanis, warga Kota Palu, Sulawesi Tengah. Ia membeli tanah seluas 6.398 meter persegi dari keluarga Hubaib pada tahun 2012 seharga Rp700 juta di Desa Lolu, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Transaksi dilakukan sah di hadapan tujuh ahli waris di Pondok Pesantren Kabeloa Alkhairaat, Pewunu, Kabupaten Sigi.
Namun, pada tahun 2023, Joni terkejut ketika melihat sebuah gudang cat berdiri di atas tanah miliknya tanpa seizin dirinya. Setelah ditelusuri, lahan itu telah dikuasai oleh pihak lain.
“Kami kaget karena tanah itu sudah kami jual ke Pak Joni tahun 2012, lengkap dengan bukti jual beli dan saksi,” ujar Abdurrahman Hubaib, salah satu ahli waris keluarga.
Kepala Desa Lolu, Kurniadin Lacedi, bahkan enggan menandatangani dokumen verifikasi dari BPN dan hanya mengirim pesan singkat lewat WhatsApp: “Dopa mabia ku teke itu le. Merapi ampu yaku” (Belum berani saya tanda tangan itu. Mohon ampun saya,” kata kepala desa.
Keluarga Hubaib sudah empat kali mendatangi Kepala Desa, namun tanpa hasil. BPN Sigi menyebut kasus tersebut sudah termasuk sengketa, sehingga mereka meminta agar dilakukan pelaporan resmi.
Padahal, tanah itu memiliki sertifikat hak milik No. 00930, tertanggal 11 Oktober 2012, lengkap dengan dokumen sah secara hukum.
Pemalsuan Terbukti, tapi Korban Digugat oleh Nippon Paint Indonesia
Belakangan, muncul dugaan bahwa tanah tersebut telah dijual kembali menggunakan sertifikat palsu kepada pihak ketiga senilai miliaran rupiah. Seorang bernama Darwis Mayeri ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan dalam penerbitan SHM No. 342/Lolu, setelah hasil uji laboratorium forensik membuktikan adanya pemalsuan tanda tangan dan dokumen.
Namun ironinya, Joni Mardanis sebagai pemilik sah justru digugat oleh pihak pembeli tanah hasil pemalsuan itu, yakni:
1. PT Nipsea Paint and Chemicals (Nippon Paint Indonesia)
2. Iwan Hosan
3. Zusana Pangely
Ketiganya mendaftarkan gugatan perdata terhadap Joni di Pengadilan Negeri Donggala. Padahal, pemalsuan sertifikat yang menjadi dasar jual beli itu sudah terbukti secara hukum.
“Ini penghinaan terhadap hukum. Pemalsuan sudah terbukti, pelakunya tersangka, tapi korban malah digugat oleh perusahaan besar. Ini pelecehan terhadap keadilan dan akal sehat, ” tegas Moh. Galang Rama Putra, kuasa hukum Joni Mardanis dari Gumanara Law Office, Jumat, 7 November 2025.
Menurut Galang, praktik menggugat korban dengan dalih perdata adalah strategi umum mafia tanah.
“Mereka ingin mengaburkan kejahatan pidana dengan bungkus hukum perdata. Tujuannya agar publik bingung dan kasus terhenti di tengah jalan,” ujarnya.
Penyidik Panggil Pihak Nippon Paint
Sementara itu, penyidik Polda Sulawesi Tengah, Ridwan Maradjengi mengakui, kini tengah memeriksa sejumlah pihak termasuk Nippon Paint Indonesia terkait keterlibatan mereka dalam transaksi tanah yang menggunakan dokumen palsu tersebut.
Menurut informasi yang diperoleh, perwakilan Nippon Paint telah memberikan keterangan kepada penyidik. Namun mereka tetap bersikukuh, bahwa mereka merasa benar karena telah membeli tanah dengan sertifikat yang diterbitkan resmi oleh BPN.
Namun, hal yang mengherankan, pihak Nippon Paint juga mengakui, mereka mengetahui adanya 13 surat warkah tanah yang dipalsukan dalam proses pengajuan SHM No. 342 tersebut.
Bahkan pihak penyidik Polda Sulteng pun telah menyampaikan kepada pihak Nippon Paint tentang warkat palsu itu, tapi Nippon Paint malah tetap menggugat pihak pemilik lahan tersebut.
“Kalau mereka sudah tahu ada 13 surat warkah yang palsu, tapi tetap melanjutkan pembelian, maka itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dengan kesadaran penuh,” tegas Galang Rama Putra yang ditemui di Jakarta pada Jumat, 7 November 2025 sore.
Melihat kondisi yang kian kompleks, Galang mendesak Polda Sulawesi Tengah segera memasang garis polisi di lokasi sengketa untuk mencegah bentrokan fisik dan mengamankan barang bukti tindak pidana.
“Tanah yang jadi hasil pemalsuan bukan objek perdata. Itu barang bukti pidana. Polisi wajib mengamankan lokasi agar tidak ada upaya penguasaan sepihak,” tegas Galang.
Ia juga menegaskan, hukum tidak boleh diperalat untuk melindungi pelaku kejahatan.
“Gugatan dari pihak pembeli sertifikat palsu, termasuk Nippon Paint Indonesia, adalah langkah yang menabrak logika hukum. Sertifikat palsu tidak bisa melahirkan hak. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah,” tegasnya.
“Salus Populi Suprema Lex Esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Polda Sulteng harus bertindak. Korban harus dilindungi, bukan dikorbankan,” tutup Galang.
Janji Kapolri
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah berjanji untuk menindak tegas mafia tanah tanpa pandang bulu.
“Siapapun yang ada di belakangnya, kalau terbukti bersalah, kita gebuk sampai tuntas,” tegas Kapolri usai penandatanganan kerja sama dengan Kementerian ATR/BPN di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Senin (5/8/2024) silam.
Kapolri menyebut kolaborasi lintas lembaga hukum penting untuk memberantas gerombolan pemalsu surat tanah.
Kasus Joni Mardanis di Sigi menjadi potret nyata carut-marut hukum agraria di Indonesia: Pemalsu sudah tersangka, tapi korban digugat. Janji Kapolri sudah sangat tegas, tapi mafia tanah masih tertawa. (*)


Tinggalkan Balasan