Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

Selasa. 11 November 2025, sore itu Jakarta terasa sedikit teduh setelah hujan ringan turun di kawasan Menteng. Di tengah riuh ibukota yang tak pernah benar-benar berhenti, telepon saya bergetar. Dari seberang, suara Kepala Humas UIN Datokarama Palu terdengar agak terburu-buru tapi sopan.

“Kak, kami mau undang Pak Margarito Kamis jadi pembicara di seminar nasional. Bisa bantu kasih kontaknya?,” kata Humas UIN yang bernama Amat Hadjiji.

Saya tersenyum. Nama Margarito Kamis sudah lama akrab di telinga publik Indonesia, terutama mereka yang mengikuti isu-isu ketatanegaraan. Ia bukan hanya pakar hukum tata negara — tetapi juga seorang cendekia yang selalu menempatkan hukum sebagai moral, bukan sekadar pasal.

Setelah menutup telepon, saya langsung menghubunginya. Namun, kali itu panggilan tak diangkat. Rupanya beliau sedang menyetir. Tak lama kemudian, telepon saya berdering kembali. Suaranya terdengar hangat seperti biasa, khas seorang paman yang bijak tapi tegas.

“Tadi Ochan telepon? kita ketemu Shalat Magrib di Masjid Cut Meutia ya. Om Tunggu,” katanya singkat.

Saya mengiyakan. Dalam hati saya tahu, setiap pertemuan dengan Margarito tak pernah berhenti hanya pada urusan formal. Selalu ada percakapan panjang yang mengalir, menyentuh akar masalah bangsa, dengan pandangan yang tajam tapi tetap membumi.

Pertemuan di Masjid Cut Meutia

Menjelang Magrib, ojek online mengantar saya menuju Masjid Cut Meutia, Gondangdia, Jakarta Pusat. Masjid tua itu selalu memiliki aura khas: tenang tapi hidup, saksi dari banyak pertemuan manusia yang mencari makna di tengah hiruk-pikuk dunia.

Margarito datang tak lama kemudian. Ia mengenderai mobil hardtop tua yang gagah. Seperti biasa, penampilannya sederhana,kotak-kotak dengan satu kancing terbuka. Senyumnya lebar. Kami berjabat tangan erat. Tak ada basa-basi panjang, hanya sapaan singkat dan ajakan menuju saf shalat.

Usai Magrib, kami baru sempat berbincang sebentar. Belum sempat mendalam, adzan Isya sudah berkumandang. Kami pun kembali berdiri menunaikan perintah Allah itu. Barulah setelah itu, di serambi masjid yang diterangi lampu temaram, percakapan kami benar-benar dimulai.

Tidak hanya berdua. Ada satu sosok lain yang ikut menemani, seorang kerabat dari Gamsungi, Kecamatan Ibu, Halmahera Barat, bernama Tomo. Kami bertiga duduk di pelataran masjid, sambil menyeruput coklat panas yang dibeli di kafe kecil di halaman masjid.

Tentang Rakyat, Pemerintah, dan Uang yang Harus Beredar

Percakapan dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi dalam dari Margarito. “Bagaimana keadaan masyarakat di bawah? Masih susah? Sudah ada perubahan?” tanyanya.

Nada suaranya bukan seperti akademisi yang ingin menganalisis, tapi seperti seorang paman (saya memanggilnya Om To) yang sungguh peduli dengan nasib rakyat.