Oleh: Adnan Machmud
Sekretaris ISNU Maluku Utara


Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara dalam tiga tahun terakhir melaju dengan kecepatan dua digit—sebuah capaian yang membuat provinsi ini menonjol di tingkat nasional. Namun, di balik angka pertumbuhan yang impresif itu, terdapat paradoks yang kian terasa di tingkat akar rumput: pertumbuhan tinggi tidak otomatis menjelma menjadi kesejahteraan yang merata.

Inilah gambaran utama dari kajian ISNU Maluku Utara bersama SIDEGO Kieraha. Temuan ini tidak berhenti pada tumpukan data statistik, melainkan memotret realitas sosial yang menunjukkan bagaimana ekonomi yang “berlari kencang” justru tersandera oleh hambatan struktural khas wilayah kepulauan.

Ketimpangan yang Berakar dari Geografi

Dengan populasi 1,37 juta jiwa tersebar di 64 pulau berpenghuni dari total 1.474 pulau, tantangan Maluku Utara secara fundamental berbeda dari provinsi daratan. Pemerataan pembangunan tidak hanya diuji oleh angka kemiskinan atau keterbatasan fiskal, tetapi oleh geografi itu sendiri. Maluku Utara adalah provinsi kepulauan yang ingin tumbuh bersama, namun terpisah oleh laut yang sering kali lebih menjadi sekat daripada simpul pemersatu.

Kajian ISNU–SIDEGO menemukan empat faktor struktural yang memperlambat distribusi kesejahteraan:

1. Geografis dan Aksesibilitas: Ketika Selat Menjadi Sekat

Keterisolasian pulau-pulau kecil menciptakan “ekonomi biaya tinggi”, di mana ongkos logistik dapat mencapai 25 persen dari biaya produksi. Minimnya transportasi laut dan udara membuat harga barang melambung, menjadikan sekilo beras atau sebotol minyak bukan hanya komoditas, tetapi simbol jarak sosial antarwilayah.

2. Kesenjangan Sosial Ekonomi: Dua Dunia dalam Satu Provinsi

Pulau-pulau kecil tertinggal dalam akses pendidikan, kesehatan, air bersih, teknologi, hingga akses permodalan. Produktivitas pun stagnan. Di tengah geliat industri pertambangan dan hilirisasi nikel yang mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagian besar masyarakat pulau kecil justru hidup dalam ekonomi subsisten.

3. Perencanaan yang Belum Berpihak pada Kepulauan

Pola perencanaan pembangunan masih sangat continental mindset—seolah Maluku Utara adalah daratan besar seperti Jawa. Formula fiskal nasional pun belum menempatkan laut sebagai “wilayah pelayanan” yang membutuhkan biaya besar untuk diakses dan dilayani. Akibatnya, pulau-pulau kecil jarang masuk radar prioritas pembangunan.

4. Kerentanan Lingkungan yang Memperparah

Ancaman abrasi, krisis air bersih, banjir rob, hingga cuaca ekstrem menjadikan biaya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di pulau kecil semakin tinggi dan tidak berkelanjutan.

Masalah ini bukan hanya milik Maluku Utara. Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi pernah menyoroti isu serupa dalam FGD RUU Daerah Kepulauan: ekonomi biaya tinggi, potensi yang tidak berbanding dengan kesejahteraan, SDM terbatas, infrastruktur minim, ancaman kejahatan lintas negara, hingga ketergantungan sosial dengan negara tetangga. Namun, Maluku Utara membutuhkan solusi yang dirancang sesuai identitasnya sebagai gugus pulau Kieraha.

Transmigrasi Lokal sebagai Terobosan Struktural

ISNU Maluku Utara menyimpulkan bahwa pendekatan sporadis tidak cukup untuk menjawab tantangan geografis yang bersifat struktural. Dibutuhkan kebijakan redistribusi pemukiman yang bertumpu pada konsep Transmigrasi Lokal (Tranlok).

Tranlok bukan sekadar memindahkan orang, tetapi menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru yang terintegrasi. Biayanya jauh lebih efisien dibanding terus-menerus membangun infrastruktur mahal di pulau-pulau kecil yang penduduknya sedikit, tersebar, dan sangat rentan.

Empat kategori pulau layak menjadi sumber migrasi antara lain:

  1. Satu desa satu pulau dengan biaya layanan publik sangat tinggi.
  2. Satu kecamatan satu pulau yang tidak mampu menopang beban pelayanan.
  3. Pulau tidak layak huni karena abrasi, keterbatasan air, dan minim infrastruktur.
  4. Pulau padat penduduk dengan keterbatasan lahan dan ruang ekonomi.

Penduduk produktif dari pulau-pulau ini dapat direlokasi menuju Pulau Halmahera, yang secara objektif memiliki kapasitas lebih besar sebagai pusat pertumbuhan masa depan Maluku Utara. Halmahera memiliki:

  • kepadatan penduduk paling rendah,
  • ketersediaan lahan luas,
  • potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan,
  • sentra industri pertambangan dan hilirisasi,
  • jaringan jalan Trans Kieraha sebagai tulang punggung ekonomi,
  • posisi strategis sebagai pusat gravitasi pembangunan provinsi.

Tanpa konsolidasi penduduk, hampir mustahil menciptakan pelayanan publik yang efisien dan mengurangi kesenjangan antar pulau.

Mengapa Tranlok Mendesak?

Karena stagnasi kesejahteraan di pulau kecil tidak akan berubah hanya dengan menambah anggaran. Selama penyebaran penduduk tidak terkonsolidasi, maka:

  • biaya logistik tetap tinggi,
  • layanan publik tidak efisien,
  • produktivitas sulit meningkat,
  • kesenjangan antarwilayah melebar,
  • dan pertumbuhan ekonomi dua digit hanya menjadi angka indah di atas kertas.

Seperti oasis di tengah gurun—terlihat dari jauh, tetapi tidak mampu menyentuh mayoritas masyarakat.

Menata Ulang Maluku Utara sebagai Provinsi Kepulauan Modern

Transmigrasi Lokal bukan sekadar program kependudukan. Ini adalah strategi pembangunan jangka panjang yang mampu:

  • mengintegrasikan pusat-pusat ekonomi,
  • menurunkan biaya logistik,
  • memperbaiki kualitas SDM,
  • memperluas akses pendidikan dan kesehatan,
  • serta menyiapkan generasi muda terlibat dalam industri masa depan.

Dengan visi ini, Maluku Utara dapat melangkah menuju provinsi kepulauan modern yang inklusif, efisien, dan berkelanjutan.

Momentum yang Tak Boleh Hilang

Saat ini Maluku Utara berada pada momentum terbaik dalam sejarah pertumbuhan ekonominya. Tetapi bila distribusi kesejahteraan tetap tersendat oleh hambatan geografis, momentum itu akan hilang begitu saja.

Untuk keluar dari paradoks “tambang subur, pulau kering”, Maluku Utara perlu berani merumuskan ulang strategi pembangunan gugus pulau. Transmigrasi Lokal menuju Halmahera bukan lagi pilihan alternatif, melainkan kebutuhan strategis demi masa depan yang lebih adil.

Seperti yang ditegaskan Ketua ISNU Maluku Utara, Mukhtar Adam:
“Laut memang memisahkan kita, tetapi kebijakan yang tepat bisa menyatukan kesejahteraan kita.”


Editor: Ruslan Sangadji