Oleh: Dr. Sahran Raden, S.Ag., S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu
Prof. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara, menjadi salah satu narasumber dalam Seminar Nasional di UIN Datokarama Palu, Selasa, 8 November 2025. Walaupun hadir melalui Zoom Meeting, pemaparannya mendapatkan perhatian dan respons positif dari peserta dan sivitas akademika.
Ada satu hal yang menggelitik saya terkait pandangannya tentang eksistensi keilmuan hukum, terutama dalam konteks PTKIN di Indonesia. Sebagai pengajar ilmu hukum di UIN Datokarama Palu, saya merasa penting memberikan tanggapan terhadap gagasan tersebut.
Prof. Margarito menegaskan bahwa UIN harus mampu melahirkan pakar-pakar hukum yang tidak hanya kuat secara akademik, tetapi juga tajam membaca realitas sosial dan hukum. “Saya rindu lahir pakar hukum dari UIN. Saya bahkan merasa orang UIN itu lebih pintar daripada kami yang belajar hukum di perguruan tinggi umum,” katanya.
Menurutnya, sebagian sarjana hukum di perguruan tinggi umum tidak memahami akar filosofis dari konsep-konsep yang dipelajari, sementara mahasiswa UIN mendapatkan kedalaman wawasan melalui integrasi hukum Islam dan hukum modern yang bersumber dari tradisi Barat.
“Orang UIN pasti paham bahwa selain Al-Qur’an dan hadis, seluruh urusan hukum dan fikih adalah produk manusia,” tambah Prof. Margarito Kamis.
Dari konteks itu, tampak bahwa terdapat ruang diskusi mengenai kesenjangan keilmuan antara UIN sebagai PTKIN dan perguruan tinggi umum yang memiliki Fakultas Hukum.
Belum lagi persoalan luaran lulusan. Alumni Fakultas Hukum di perguruan tinggi umum memiliki jangkauan karier yang lebih luas, sementara alumni Fakultas Syariah pada PTKIN relatif lebih terbatas. Jumlah lulusan PTKIN yang menduduki posisi strategis seperti hakim di peradilan umum, hakim konstitusi, hakim agung, perancang peraturan perundang-undangan, dan berbagai lembaga negara masih sangat sedikit.
Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor utama: (1) kompetensi lulusan PTKIN yang belum sepenuhnya kompetitif, dan (2) adanya regulasi yang belum berpihak kepada lulusan PTKIN. Regulasi yang diskriminatif menyebabkan alumni PTKIN kurang terserap dalam profesi hukum umum. Karena itu, revisi regulasi yang memberi akses lebih luas bagi alumni PTKIN menjadi keharusan.
Keunggulan Kurikulum Fakultas Syariah UIN
Sebenarnya, kurikulum Fakultas Syariah UIN lebih komprehensif dan terintegrasi dibanding Fakultas Hukum di perguruan tinggi umum. Perbedaannya terletak pada integrasi ilmu hukum dengan prinsip-prinsip hukum Islam dalam kurikulum UIN, sementara Fakultas Hukum umum fokus pada hukum positif nasional dan internasional tanpa muatan keislaman.
Kurikulum Fakultas Syariah dan Hukum UIN disusun berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dengan integrasi kajian keislaman seperti Tafsir dan Hadis Hukum, Fikih, Ushul Fikih, Akhlak, Ekonomi Syariah, Fikih Siyasah, serta Hukum Keluarga Islam. Muatan ini diintegrasikan dengan mata kuliah hukum positif seperti Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Legal Drafting, Sosiologi Hukum, Filsafat Hukum, dan lainnya.
Sebaliknya, Fakultas Hukum umum memusatkan diri pada hukum positif, teori-teori hukum modern, dan yurisprudensi tanpa pengkajian khusus terhadap hukum Islam.
Dengan demikian, keunggulan Fakultas Syariah UIN terletak pada integrasi 60% hukum Islam dan 40% hukum konvensional, yang menghilangkan dikotomi antara keduanya. Model ini menciptakan lulusan yang memiliki kedalaman pengetahuan hukum Islam sekaligus pemahaman memadai tentang hukum nasional.
Pengaruh Perbedaan Kurikulum terhadap Prospek Karier
Perbedaan kurikulum ini berdampak pada diferensiasi prospek karier. Lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN memiliki peluang di sektor hukum Islam seperti peradilan agama, lembaga zakat, wakaf, perbankan syariah, dan konsultan hukum syariah. Mereka juga dapat berperan di lembaga pemerintah terkait urusan syariah.
Sementara lulusan Fakultas Hukum umum lebih fleksibel memasuki profesi seperti hakim peradilan umum, jaksa, advokat, notaris, konsultan hukum, maupun berbagai posisi hukum di lembaga publik dan swasta.
Dengan kata lain, lulusan Syariah memiliki peluang karier lebih spesifik, sedangkan lulusan Fakultas Hukum umum memiliki fleksibilitas yang lebih luas.
Strategi Kurikulum untuk Meningkatkan Employability Lulusan UIN
Merespons pandangan Prof Margarito Kamis yang seakan menempatkan kajian hukum UIN dan perguruan tinggi umum dalam posisi dikotomis, PTKIN perlu merumuskan strategi untuk meningkatkan daya saing lulusannya. Strategi itu meliputi:
1. Integrasi teori dan praktik melalui model Teaching Factory (Tefa), magang, klinik hukum, dan praktik peradilan untuk memperkuat kesiapan kerja.
2. Pengembangan employability skills seperti komunikasi, kerja tim, berpikir kritis, kreativitas, dan adaptabilitas melalui Project-Based Learning.
3. Kolaborasi dengan dunia usaha dan industri (DUDI) agar materi ajar relevan dengan kebutuhan profesi hukum dan perkembangan teknologi.
4. Penguatan layanan bimbingan karier untuk memberikan panduan jelas bagi mahasiswa menentukan dan menapaki jalur profesional.
Strategi ini memungkinkan lulusan tidak hanya kuat secara akademik, tetapi juga memiliki keterampilan praktis dan etos profesional yang dibutuhkan pasar kerja.
Dampak Dikotomi Pemikiran Hukum terhadap Sistem Peradilan
Prof. Margarito Kamis menyebut bahwa penegakan hukum sangat bergantung pada kemampuan interpretasi. Dalam konteks ini, Fakultas Syariah UIN telah membekali mahasiswa dengan pemahaman argumentasi hukum, dan metode interpretasi melalui kajian mendalam di berbagai mata kuliah hukum.
Dikotomi pemikiran hukum seperti judicial activism dan judicial restraint memiliki dampak besar bagi sistem peradilan Indonesia yang bersifat hibrid.
Judicial activism memungkinkan hakim memberi interpretasi progresif, namun berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum. Judicial restraint menjaga kepastian hukum, namun berisiko mengabaikan keadilan substantif.
Dualisme ini membuat sistem peradilan menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kepastian dan keadilan substantif. Ketidakkonsistenan putusan sering terjadi, yang pada akhirnya dapat melemahkan kepercayaan publik pada lembaga peradilan.
Karena itu, reformasi kelembagaan, penguatan kapasitas hakim, serta konsistensi yurisprudensi sangat penting untuk memastikan sistem peradilan tetap adil dan responsif terhadap dinamika masyarakat.
Secara keseluruhan, dikotomi pemikiran hukum bukan hanya perdebatan akademik, tetapi juga memengaruhi karakter sistem peradilan di Indonesia. Dalam konteks itu, UIN dengan model integrasi ilmunya memiliki posisi strategis sebagai penyumbang perspektif alternatif yang memperkaya diskursus hukum nasional. (*)

Tinggalkan Balasan