Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
“Apakah Aa Raffi suka makan sup?
Sup Apa yang terkenal di Palu. Apakah ada Sup Konro? Tidak, saya tidak suka Sup Konro, saya suka Supratman. Karena beliau favorit saya. Begitu Raffi Ahmad saat memberikan tende di panggung.”“Saya pertama bertemu Pak Raffi Ahmad di ATM. Terus…? Saya lihat saldonya. Angka nolnya sampai di ATM sebelah”.
“Kak, tadi saya ini mau pinjam name tag. Tapi panitia bilang terbatas. Padahal Akbar itu tidak terbatas,”
Itu adalah catatan dari Festival Tende, Cerita Kedua Tende Akbar.
Acara Festival Tende, Cerita Kedua Tende Akbar baru saja digelar pada Sabtu, 22 November 2025 malam di Sriti Convention Hall, Palu. Banyak pejabat dan tokoh yang hadir di situ. Dalam suasana hangat itu, satu tradisi tutur kembali mengemuka, sebuah tradisi yang halus sekaligus menyentuh: tende.
Tende, sejatinya bukan sekadar rangkaian kata manis, bukan pula pujian kosong yang beterbangan di udara. Tende itu seni yang menyentuh hati lewat lisan; sebuah cara lama untuk menyenangkan seseorang, membangun jembatan keakraban, atau sekadar mengalirkan suasana baik di antara dua manusia yang sebelumnya saling asing.
Kadang-kadang, dua orang yang awalnya berjarak, tiba-tiba bisa tertawa bersama hanya karena sebuah tende yang tepat sasaran. Ada pula yang tersipu ketika ditende, menikmati hangatnya perhatian itu meski mereka tahu betul sedang dipuji, dan tetap suka. “Saya tahu kau tende saya… tapi saya suka,” begitu kira-kira pengakuan jujur sebagian orang.

Namun tidak semua telinga suka dimanjakan dengan tende. Ada yang memilih netral, ada pula yang menahan diri, tak ingin pujian menyihir perasaan atau menciptakan hutang sosial. Begitulah tende, hadir sebagai seni yang halus, dan seperti semua seni, ia menemukan penikmat sekaligus penghindarnya.
Sejarah tende di Palu seperti riak di permukaan Teluk, tampak jelas tapi sumbernya samar. Tidak ada literatur resmi yang menuliskan dari mana tepatnya tradisi ini bermula. Namun sebagian cerita lisan, mengarah pada dugaan bahwa tende lahir dari interaksi budaya orang-orang Arab, yang menetap di Palu sejak lama. Dugaan yang masuk akal, sebab masyarakat pesisir Palu, seperti masyarakat pesisir Nusantara lainnya, tidak pernah steril dari hubungan dengan pedagang Arab, ulama, dan para perantau yang datang membawa ajaran, budaya, serta gaya bertutur mereka.
Dalam tradisi Arab, pujian yang disampaikan dengan bahasa lembut bukanlah hal asing. Tende menjadi medium penghormatan, penghargaan, bahkan pendekatan. Di kota yang tumbuh melalui pertemuan antarbudaya seperti Palu, sangat mungkin seni tutur itu menemukan tanah baru, lalu berakar dalam kehidupan sosial masyarakat Kaili.
Perspektif Islam: Pujian sebagai Jalan Pembuka
Jika ditarik ke perspektif Islam, tende tidak pernah salah tempat. Justru, pujian memiliki dimensi spiritual yang panjang. Al-Qur’an sendiri dibuka dengan rangkaian kalimat puji, naluri manusia untuk memuliakan yang luhur.
Bismillahirrahmanirrahim. (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (Segala puji bagi Allah Tuhan Seru Sekalian Alam)
Ar-Rahmanirrahim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).
Maliki yaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan).
Itu semua adalah pujian. Dan lihat bagaimana struktur Surah Al-Fatihah mengalir: manusia memuji terlebih dahulu sebelum memohon petunjuk, ihdinas shirathal mustaqim (Tunjukan aku jalan yang lurus). Pujian menjadi pembuka jalan, penghantar kehendak, pintu yang diketuk sebelum hati dibuka.
Dalam tradisi maulid, terutama Al-Barzanji, pujian mencapai bentuknya yang paling indah.
Anta syamsun anta badrun, anta nurun fauqa nurin.
(Engkau laksana matahari, yang setiap paginya memecah gelap tanpa pernah letih.
Engkau pula rembulan, yang menumpahkan cahaya lembut di malam paling sunyi.
Dan lebih dari itu semua, engkau adalah cahaya di atas segala cahaya, terang yang membuat terang, makhluk lain tampak kecil).
Bukankah itu juga tende?
Pujian yang melampaui lahiriah, menyentuh makna terdalam cinta kepada Rasulullah.

Ketika masyarakat Palu ba patende seseorang, entah dalam canda, hormat, atau persahabatan, seakan gema tradisi Islam itu terselip di antara kata-kata mereka.
Dalam praktik sehari-hari, tende bukan sekadar pujian; ia adalah diplomasi rasa. Dalam adat sosial Kaili yang menjunjung kesopanan, tende menjadi bahasa halus untuk membuka percakapan, mencairkan suasana, atau menebar kebaikan. Tende adalah seni yang tak hanya merayu telinga, tapi juga merawat hubungan.
Di warung kopi, ketika dua sahabat lama bertemu, tende mengalir tanpa disadari.
Di pesta keluarga, ketika tuan rumah menyambut tamu penting, tende menjadi bingkai keramahan.
Di antara muda-mudi, tende sering menjadi kode rahasia untuk menguji perasaan, serius atau sekadar lewat.
Tende itu sejatinya bahasa yang lembut, cair, dan sosial. Seperti air yang selalu menemukan celah untuk mengalir.
Warisan yang Terus Bernapas
Kini, ketika festival-festival budaya digelar dan generasi muda kembali menengok identitasnya, tende hadir bukan hanya sebagai tradisi yang dilestarikan, tetapi sebagai bagian dari watak masyarakat Palu. Sebuah cermin kecil yang memperlihatkan bahwa orang Palu punya cara tersendiri dalam merawat kehangatan.
Tende bukan sekadar pujian.
Ia adalah cara bertutur yang menyatukan, memuliakan, dan mengakrabkan.
Ia adalah bagian dari napas budaya yang lahir dari perjumpaan masa lalu, entah dari Arab, dari nalar Islam, atau dari spontanitas sosial yang tumbuh di tanah Kaili.
“Tende itu mengakui kelebihan orang dan disampaikan dengan cara yang beretika,” kata Menteri Hukum RI, Supratman Andi Agtas saat ditanya oleh Raffi Ahmad tentang apa itu tende.
Yang jelas, selama masih ada hati yang ingin disentuh dan hubungan yang ingin dirawat, tende akan tetap hidup. Tapi tende, tak boleh bikin kita besar kepala. Tende jangan sampai bikin kita lupa daratan.
Dan, sebagai penggagas Festival Tende, Cerita Kedua Tende Akbar, nama Akbar Supratman pun melintas sebagai sosok yang layak ditende. Ia bukan hanya menyalakan kembali tradisi tua ini, tetapi merawatnya dengan ketekunan yang membuat banyak orang kembali jatuh hati pada budaya sendiri. Di tangannya, tende tidak sekadar dipentaskan, tetapi dihidupkan, diperhalus, dirayakan, dan dibentangkan kepada generasi muda.
Akbar Supratman seperti membuka jendela agar cahaya tende kembali masuk, hangat dan dekat, menyinari ruang-ruang kebudayaan Palu yang mungkin sempat redup. Dan untuk itu, masyarakat tidak hanya berterima kasih; mereka menaruh hormat. Ia telah menautkan banyak hati lewat sebuah tradisi yang hampir terlupa. Tende. (*)
Wallahu A’lam


Tinggalkan Balasan